Bonaventura Gunawan Gelar Pameran Tunggal di BBY
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Setelah cukup lama tenggelam dalam dunia kerja, seniman grafis Yogyakarta Bonaventura Gunawan kembali berkarya seni grafis dengan menggelar pameran tunggal bertajuk "Re-Public, reminding of existence" di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY).
Pameran seni grafis dengan teknik cetak tinggi reduksi menggunakan hardboard sebagai plat klise karya B Gunawan dalam rentang waktu pembuatan tahun 1986-2017 dengan medium cetak kertas dan kanvas dibuka oleh dosen seni rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Suwarno Wisetrotomo di pelataran Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu (12/8) malam.
Mewakili BBY, budayawan Sindhunata menjelaskan konteks karya-karya Gunawan yang relevan dengan kehidupan bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Kritik sosial yang menjadi realitas sehari-hari secara sederhana namun memiliki kedalaman makna mampu disajikan Gunawan dalam karyanya. Dalam karya "Democracy is My Li(f)e", Sindhunata menilai bagaimana mesin-mesin politik telah "mengolah" manusia-manusia cerdas-pintar-berpendidikan Indonesia menjadi badut-badut politik yang sangat lucu, menyebalkan, sekaligus menyusahkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
"(Dalam karya Democracy is My Li(f)e) Spontan akan terlihat suatu gambaran bagaimana ada orang yang diperalat untuk memasukkan manusia-manusia ke mesin, yang tak ubahnya mesin partai politik. Orang pintar dibuat menjadi bodoh. Orang jujur dibuat menjadi tidak jujur. Yang bijaksana dibuat menjadi goblok. Dimasukkan ke dalam mesin partai, digiring oleh provoator-provokator, dan ketika keluar dari mesin partai dia berubah menjadi badut idiot-idiot. Tragisnya, badut-badut ini kalau tidak berprestasi dia akan masuk kotak dan tidak terhitung secara politik, atau masuk bui karena kasus korupsi (yang dilakukannya), atau menjadi badut yang terus menipu rakyat." kata Sindhunata dalam sambutannya.
Ada kritik menarik dari Sindhunata bahwa sudah cukup lama banyak seniman dan dunia seni lebih "sibuk" berhitung tentang pasar yang begitu mendikte dunia seni sehingga memengaruhi karyanya, dimana semangat dan daya kritis seni itu sendiri justru bermula dari suka cita dan ekspresi.
Seni grafis, terbukanya peluang pasar dan diplomasi antar bangsa
Dalam empat bulan terakhir dunia seni grafis di Yogyakarta cukup menggeliat. Beberapa pameran besar melengkapi dengan pasar seni yang diisi dengan menjual merchandise dan karya seni pada sebuah pameran seni rupa menjadi trend akhir-akhir ini di Yogyakarta. Tercatat pada penyelenggaraan FKY tahun lalu dari 132 stan pameran 60 % dialokasikan untuk booth merchandise, dan tahun ini melengkapi Pameran Perupa Muda dengan bursa seni yang melibatkan 14 komunitas seni grafis di Yogyakarta.
Art Jog sebagai pameran-bursa seni rupa terbesar se-Asia Tenggara dalam dua tahun terakhir mulai menggarap booth merchandise karya seni sebagai pelengkap pameran. Art|Jog 10-2017 memberikan ruang bagi seniman/pelaku seni untuk memasarkan karya/merchandise seninya semisal DGTMB, Hanan, Natan artspace, Komunitas Minggiran, maupun dari luar Yogyakarta seperti Orbital Dago (Bandung).
Dalam sambutannya Suwarno Wisetrotomo menjelaskan bagaimana peluang seni grafis di Yogyakarta dan juga Indonesia dengan beragam teknik, bermacam alat, bahannya bermacam-macam, dan efek yang dihasilkan pun beragam.
"Bagaimana peluangnya kedepan? Saya tidak ingin meramal, tetapi Gunawan mengisi celah kosong dari pilihan seni grafis yang terbuka lebar ketika bidang lain telah penuh sesak dengan kontestasi dan kompetisi yang padat. Dunia seni grafis adalah celah kosong." kata Suwarno dalam sambutan pembukaan, Sabtu (12/8) malam.
Suwarno juga bercerita sedikit tentang perkembangan dunia seni grafis yang sesungguhnya memiliki sejarah cukup panjang justru akhir-akhir ini seolah terpinggir dari dunia seni rupa di Indonesia.
"Seni grafis Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Sebelum Indonesia merdeka, seniman semisal Baharuddin Mara Sutan, Mochtar Apin, Widayat, Suromo, sudah membuat karya yang dipublikasi di banyak media. Pada HUT RI tahun 1946, negara membuat cetakan seni grafis dari beberapa seniman untuk hadiah kepada negara-negara sahabat yang telah memberikan pengakuan kedaulatan Indonesia dengan karya seni grafis Indonesia." kata Suwarno dalam sambutannya.
Di Indonesia, kehidupan seni grafis, lebih kurang hampir seumur dengan kehadiran institusi pendidikan tinggi seni rupa di Indonesia. Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta, diresmikan pada 15 Januari 1950. ASRI yang kemudian menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) “ASRI” Yogyakarta (1968), dan sejak 1984 menjadi Fakultas Seni Rupa, salah satu fakultas di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Tahun 1940-an, sejumlah perupa seperti Baharudin Marasutan, Mochtar Apin, sudah aktif berkarya grafis. Tak banyak lulusan seni grafis ISI Yogyakarta, juga dari institusi pendidikan tinggi lainnya (IKJ, FSRD ITB, atau ISI Denpasar) yang menekuni dan mengembangkan seni grafis sebagai medium utama dalam kapasitasnya sebagai perupa.
Tercatat seniman grafis yang masih berkarya seni grafis secara teguh, antara lain Edi Sunaryo, Yamyuli Dwi Iman, Agus Yulianto, Irwanto Lentho, Ariswan Adhitama, Theresia Agustina Sitompul, Syahrizal Pahlevi, Anggara Tua Sitompul (FSR ISI Yogyakarta), Tisna Sanjaya, Agung Prabowo (FSRD ITB Bandung).
Lebih lanjut Suwarno menjelaskan bahwa sedikitnya seniman grafis yang militan memilih jalan seni grafis sebagai "jalan sunyi" dengan berbicara dalam banyak hal melalui proses dan medium karyanya di tengah pragmatisme atas pasar menjadi salah satu kendala berkembangnya seni grafis di Indonesia.
Tentang karya seni grafis sebagai salah satu alat diplomasi antar bangsa, seniman grafis Syahrizal Pahlevi yang beberapa waktu lalu mengikuti program residensi "Belt and Road" di China Guanlan Original Printmaking Base (CGOPmB) dalam perbincangannya dengan satuharapan.com di sela-sela pameran menjelaskan bagaimana pemerintah China menjadikan CGOPmB sebagai salah satu studio yang menghasilkan karya seni grafis. Hasil karya seni grafis sebagian ditampung pemerintah untuk dijadikan sebagai oleh-oleh/cinderamata bagi tamu-tamu pemerintah.
Tujuh puluh tahun silam, pemerintah Indonesia telah melakukan diplomasi budaya dengan bangsa lain melalui karya seni grafis anak bangsanya. Jika hari-hari ini justru seni grafis (printmaking) seolah "tersisih" dari khasanah seni rupa, terlepas dari perkembangan digital printing dan dunia digital yang menjadi mitra sekaligus kompetitornya, tentu ada yang perlu dibenahi dalam pengembangan seni grafis di tanah air.
Pameran tunggal Bonaventura Gunawan bertajuk "Re-Public, reminding of existence" akan berlangsung hingga 20 Agustus 2017 di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No. 2 Yogyakarta.
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...