Borong Merek sebagai Investasi Masa Depan
SATUHARAPAN.COM – Bagi Grup Salim, memborong merek bukan hal sulit. Dalam waktu singkat kelompok ini mampu mengoleksi merek mi instan ternama seperti Indomie, Supermi, dan Sarimi.
Kenyataan bahwa Grup Salim memonopoli perdagangan terigu – bahan dasar pembuatan mi – membuat kecil nyali pemilik merek yang ditawar.
Mengapa menjadi kolektor merek? Kalangan pengusaha sudah mafhum bahwa merek yang kuat lebih mudah dijual ke pasar. Alasan ini pula yang mendasari Salim membeli merek Bimoli dan Sinar Mas senilai Rp 25 miliar.
Di Jawa Tengah, merek-merek lokal seperi kopi Cap Tugu Luwak dan Kecap Cap Piring Lombok telah berpindah tangan ke Grup Salim. Semua merek tadi sudah ada di pasar sejak puluhan tahun lalu. Dan, tiap merek tersebut punya penggemar fanatik.
Belakangan “hobi” Grup Salim mengakuisisi merek diikuti pemain internasional. Lihat saja bagaimana Unilever, raksasa fast moving consumer good memasukkan Kecap Cap Bango dalam deretan mereknya. Padahal, di Indonesia, Unilever sudah mengelola 37 lebih merek.
Lalu Bagaimana Arnotts mengakuisisi Helios, Danone menguasai Aqua dan paling akhir ketika Cola-Cola membeli AdeS?
Cola-Cola sesungguhnya sudah memborong berbagai merek lokal di banyak negara, di antaranya Aquarius di Malaysia, Pump di Australia, Namitha di Thailand, Soon So di Korea Selatan, Dasani di AS, the Tian Yu di RRT dan air mineral Bonaqua di Eropa.
Membeli merek memang merupakan jalan pintas untuk menjala konsumen loyal. Pembeli tinggal membenahi manajemen, distribusi dan kemasan untuk memperkuat apa yang sudah ada.
Mereka sadar bahwa selain mahal, meluncurkan produk baru juga tak selalu menjamin sukses di pasar.
Bonaqua, misalnya, pernah menjadi andalan Cola-Cola untuk menyaingi Aqua. Apa daya? Ternyata nasibnya jeblok di pasar. Akibatnya Cola-Cola menghentikan produksi Bonaqua sejak awal tahun 2000 lalu.
Cola-Cola selanjutnya melirik AdeS. Menurut hasil riset pasar, AdeS merupakan pilihan kedua konsumen setelah Aqua. Sesuai Hukum Pemasaran Al Ries dan Jack Trout, di benak konsumen hanya tersedia dua tempat. Menjadi merek pertama atau kedua.
Merek ketiga dan selanjutnya bahkan jarang diingat konsumen. Karenanya, tanpa ragu-ragu Cola-Cola membeli AdeS senilai 19,9 juta dolar AS pada 15 Desember 2000.
Selama ini, AdeS berhasil menguasai sekitar 10 persen pangsa pasar air minum dalam kemasan (AMDK). Dengan “tangan dingin” Cola-Cola, diharapkan pangsanya meningkat menjadi dua kali lipat tingkat konsumsi AMDK yang mencapai 350 juta liter per hari sungguh menjanjikan.
Omzet perusahaan minuman pada 1999-2000 di Indonesia mencapai Rp 70 triliun yang melibatkan tenaga kerja 3,4 juta orang.
Sebelumnya, pada 28 September 1998, Danone sudah menjalin kerjasama dengan Aqua. Kini, kepemilikan saham Danone meningkat dari 40 persen menjadi 74 persen. Prospek Aqua memang cerah. Tahun 2000 lalu, Aqua mencatat penjualan 1,8 miliar liter air.
Ekuitas Merek
Tren terakhir menunjukkan merek ikut mengubah paradigma bisnis. Dulu sukses perusahaan diukur berdasarkan pemilikan asset tangible seperti pabrik, mesin, persediaan barang dan uang kas.
Tapi, perkembangan menunjukkan bahwa merek – yang secara implisit menggambarkan kualitas – merupakan aset penting pula. Merek yang memiliki kesetiaan tinggi disebut memiliki ekuitas merek. Hal itu di luar faktor tangible yang disebut di atas.
Dalam buku “45 Kisah Bisnis Top Pilihan”, pakar merek David A. Aaker mengatakan, ekuitas merek ditentukan oleh beberap faktor, yakni pengenalan merek, persepsi kualitas dan kekuatan asosiasi merek. Sejak itu merek menjadi amat berkuasa.
Dengan merek, sebuah perusahaan mampu menciptakan harga premium bagi pelanggannya. Bahkan, di pasar saham, merek dapat menentukan harga premium saham di kalangan investor.
Syukurlah, kekuatan merek kini dapat diukur. Salah satu ahlinya adalah Interbrand Corp yang memelopori konsultasi merek di New York. Teori dasarnya sederhana, merek yang kuat memiliki daya untuk memacu penjualan dan pendapatan.
Interbrand mencoba memotret seberapa jauh peningkatan sebuah merek, seberapa stabil peningkatan tersebut di masa depan, dan berapa sesungguhnya nilai masa depan merek tersebut bila menggunakan ukuran sekarang.
Banyak merek yang juga merupakan nama corporate. Cola-Cola, misalnya, bukan hanya merek, melainkan juga nama perusahaannya.
Merek bisa disebut global bila paling sedikit menguasai 20 persen pasar di luar Amerika Serikat. Jadi, meski Gatorade merupakan minuman dengan penjualan besar di pasar AS, tetap dianggap bukan merek global karena penguasaan pasar di luar pasar AS lebih kecil dari 20 persen.
Boleh jadi, merek bakal menjadi pilihan investasi masa depan. Sebab, bila merek berhasil dikelola baik, tak ayal bakal mendatangkan fulus yang tidak sedikit. Karena itu, waspadai merek-merek lokal di sekitar Anda.
Lakukan riset dan segera beli bila merek tersebut mampu menjadi nomor satu atau dua dalam kategori tertentu di pasar. Ingat dalam persaingan yang makin kuat, kadang kita perlu mengikuti petuah Douglas N. Daft, CEO Cola-Cola Internasional: think local, act local. Berpikir dan bertindaklah sesuai kondisi lingkungan kita.
Editor : Bayu Probo
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...