BPJS Kesehatan Defisit Masih Tanggung Biaya Penyakit Katastropik
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sehubungan dengan beredarnya informasi bahwa BPJS Kesehatan tak lagi menanggung semua biaya delapan penyakit katastropik seperti jantung, gagal ginjal, kanker, stroke, sirosis hepatitis, thalassemia, leukimia, dan hemophilia.
Kepala Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat ,mengatakan bahwa sampai dengan saat ini, BPJS Kesehatan tetap menjamin ke-8 penyakit tersebut sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh regulasi pemerintah.
"Jadi masyarakat tak perlu khawatir. Selama peserta JKN-KIS mengikuti prosedur dan ketentuan, maka kami akan jamin biayanya sesuai dengan ketentuan yang berlaku," katanya, demikian seperti dilansir situs bpjs-kesehatan.go.id.
"Kamis lalu (23/11), BPJS Kesehatan diminta paparan tentang perkembangan pengelolaan JKN-KIS. Lalu dalam paparan tersebut ditampilkan sebagai gambaran di Jepang, Korea, Jerman, dan negara-negara lainnya yang menerapkan cost sharing. Pada saat itu kami memberikan referensi akademik. Jadi jangan salah paham duluan ya," katanya.
Menurut Nopi, saat era Askes dulu, pemerintah memberikan dana subsidi bagi penyakit-penyakit katastropik. Pemberian dana tersebut dilakukan sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2013.
"Sejak PT Askes (Persero) bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan pada 2014 lalu sampai sekarang, belum ada regulasi tentang subsidi pemerintah untuk penyakit katastropik. Padahal dulu ada subsidi. Saat ini hal tersebut tengah diusulkan untuk revisi Perpres," kata Nopi.
Sebagai badan hukum publik yang berada di bawah naungan Presiden langsung, Nopi juga mengatakan bahwa pihaknya tunduk dan patuh terhadap segala kebijakan yang ditetapkan nantinya oleh pemerintah.
"Dalam mengambil kebijakan, pemerintah pasti memperhatikan kebutuhan masyarakat dan kondisi di lapangan. Yang jelas prioritas kami saat ini adalah memberikan pelayanan terbaik bagi peserta JKN-KIS," katanya.
BPJS defisit
Hingga September 2017, peserta BPJS Kesehatan mencapai 183 juta orang. BPJS mengakui, dari angka itu, 10 juta peserta yang mayoritas masuk kategori mandiri kerap menunggak pembayaran iuran.
Direktur BPJS Kesehatan Fachmi Idris, isu soal defisit bukan hal baru. Instansinya sudah sering disebut demikian, meski sebenarnya tidak mengalami masalah apa pun.
Fachmi pada Rabu (14/11) mengatakan, seperti yang dikutip dari kompas.com, bahwa defisit yang saat ini tercatat sebenarnya di bawah Rp 7 triliun.
"Defisit transaksi berjalan tahun ini tidak sampai Rp 9 triliun, itu kurang dari Rp 7 triliun. Kalau ke depannya ya masih dihitung. Angkanya keluar akhir desember," kata Fachmi.
Soal anggaran sendiri, menurutnya, dibuat selalu balance antara pengeluaran dan pendapatan. Caranya dengan menghitung pengeluaran, prediksi pemanfaatan rata-rata per orang, lalu hitung pendapatan yang ideal dengan iuran serta pengeluaran tersebut.
Namun pada prakteknya, iuran yang diambil tidak sesuai dengan hitungan aktuaria. Misalnya pengeluaran Rp 23.000 dan iuran peserta Rp 20.000, ini ada gap Rp 3.000. Lalu untuk kelas 2, pengeluaran iuran Rp 53.000 tapi iuran Rp 45.500, ada gap Rp 7.500.
"Inilah yang kemudian disebut sebagai defisit, rugi, dan lain-lain," kata Fachmi.
"Setelah hitung dan iurannya tidak match, itu kami bicarakan dalam rencana kerja tahunan. Secara teori, paling dasar, ya (bisa diperbaiki) dengan menyesuaikan iuran. Tapi sekarang, kata Presiden jangan dulu disesuaikan dengan hitungan aktual karena masalah daya beli masyarakat," katanya.
Selain itu, defisit anggaran juga disebabkan banyaknya jumlah peserta yang menunggak iuran premi. Sedikitnya 10 juta peserta masih menunggak. Dari jumlah itu, mayoritas penunggak iuran disumbang dari Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri. “Angkanya itu masih kumulatif. Untuk lebih pastinya, sebaiknya kita lihat nanti (audit dari) kantor akuntan publik,” kata Kemal Imam Santoso, Direktur Keuangan dan Investasi BPJS Kesehatan pada Senin (16/11) yang dikutip dari tirto.id.
Sedangkan Sudaryatmo dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan, BPJS sebaiknya mengecek kembali kesesuaian penanganan medis dan ongkos yang mereka bayar kepada rumah sakit swasta.
Menurut Sudaryatmo, penyedia layanan medis 'berpotensi melakukan kecurangan' (fraud) yang dapat menguras keuangan BPJS.
"Sekitar 80 persen biaya manfaat habis untuk rumah sakit, bisa pemerintah dan swasta. Khusus rumah sakit swasta, perlu dilihat lebih rinci, wajarkah klaim mereka," kata Sudaryatmo melalui telepon, Senin (27/11), yang dikutip dari bbc.com.
Di luar itu, Sudaryatmo menyebut pemerintah sebaiknya memperketat regulasi untuk peserta jaminan kesehatan dalam kategori mandiri atau warga negara bukan penerima upah.
Sebagian peserta mandiri, kata Sudaryatmo, mendaftar BPJS ketika sudah mengidap penyakit atau saat membutuhkan penanganan medis.
Pajak Dosa
Pilihan lain yang dipertimbangkan, agar iuran yang masuk sesuai dengan pengeluaran adalah dengan mengurangi manfaat BPJS. Namun, menurut Fachmi Idris, pilihan ini tidak diambil.
Akhirnya, menurut Fachmi, opsi yang akan diambil untuk menyelesaikan masalah defisit tersebut adalah mengadakan sin tax atau pajak dosa.
Wacana yang sedang dibahas adalah mengambil pajak dosa dari cukai rokok. Besarannya sekitar 75 persen dari porsi pajak cukai rokok yang dialokasikan ke sektor kesehatan.
"Sekarang ini belum cukup. Kalau ingin pajak dosa yang murni ya, seluruhnya untuk kesehatan. Tapi sementara waktu ini, sudah bagus," katanya.
Editor : Melki Pangaribuan
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...