BPPTKG Siapkan Alat Pemantau Gas di Merapi
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menyiapkan alat untuk memantau kandungan gas, khususnya karbondioksida (CO2), yang akan ditempatkan di sekitar puncak Gunung Merapi.
"Kami sedang menyiapkan desainnya. Diharapkan, peralatan untuk memantau CO2 dapat dipasang tahun ini," kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Subandriyo di Yogyakarta, Jumat (28/3).
Ia menambahkan, pantauan dari sensor CO2 tersebut akan dapat diamati realtime di kantor BPPTKG sehingga petugas bisa melakukan identifikasi lebih menyeluruh, tidak hanya dari aspek seismik.
BPPTKG pernah memiliki peralatan memantau kondisi gas, namun peralatan bantuan Prancis tersebut rusak akibat terkena letusan freatik pada 18 November 2013.
Selain menyiapkan alat untuk memantau kondisi gas CO2, BPPTKG juga akan melakukan sampling gas secara rutin satu bulan sekali di Merapi.
Subandriyo mengatakan, kejadian embusan gas yang kerap terjadi pascaerupsi 2010 menjadi tantangan tersendiri bagi BPPTKG untuk memantau perkembangan gunung api aktif tersebut dengan lebih valid.
Ia berharap tambahan alat pemantau gas tersebut bisa membantu petugas mendeteksi gejala awal kejadian embusan gas, karena dalam beberapa kejadian terakhir belum dapat dipastikan gejala awalnya.
"Selalu ada gejala awal dari sebuah kejadian, termasuk munculnya embusan gas di Merapi. Sekarang tinggal bagaimana cara mengetahui gejala awal itu," katanya.
Subandriyo mengatakan, kandungan gas, khususnya CO2 di Merapi meningkat pascaerupsi 2010. Tingginya kandungan gas itu menyebabkan banyaknya kejadian embusan yang membawa material vulkanik sehingga menyebabkan hujan abu dan pasir di lokasi sekitar gunung.
Tingginya kandungan CO2 juga menyebabkan sifat letusan Merapi menjadi eksplosif. Namun demikian, ia belum dapat memastikan penyebab meningkatnya kandungan gas di Merapi pascaerupsi 2010.
"Gas di tubuh Merapi akan selalu bergerak keluar yang menyebabkan terjadinya embusan. Apabila di kepundan ada sumbatan, embusan gas bisa membawa material vulkanik," ia menjelaskan.
Kejadian embusan gas pada Kamis (27/3), lanjut Subandriyo, juga tidak membawa material baru, tetapi hanya pasir kasar dan abu. "Tidak ada magma, sehingga kejadian itu bukan letusan," ia menambahkan.
Perubahan sifat Gunung Merapi seperti yang terjadi sekarang juga pernah terjadi pascaerupsi 1872. Pada saat itu, letusan Merapi bersifat eksplosif. Namun, sifat letusan Merapi berubah kembali pada 1882, dengan membentuk kubah lava seperti yang selama ini selalu dipahami masyarakat.
Status Merapi pun masih ditetapkan aktif normal dan Subandriyo menyatakan masyarakat tidak perlu panik namun tetap waspada. "Letusan Merapi juga tidak bisa ditentukan akan terjadi secara periodik, misalnya empat tahun sekali," katanya. (Ant)
Ajax Akan Gunakan Lagi Logo Tahun 1928
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Klub sepak bola Liga Belanda, Ajax Amsterdam, kembali menggunakan logo la...