BPS: Harga Makanan Turun Picu Deflasi September 2019
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan sejumlah harga bahan makanan memicu terjadinya deflasi pada September 2019 sebesar 0,27 persen.
"Deflasi terjadi karena penurunan harga bumbu-bumbuan serta daging ayam ras dan telur ayam ras," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (1/10).
Suhariyanto mengatakan harga cabai merah mengalami penurunan cukup tajam dalam periode ini dengan memberikan andil terhadap deflasi sebesar 0,19 persen.
Selain itu, harga bawang merah juga mengalami penurunan dengan memberikan andil 0,07 persen disusul daging ayam ras 0,05 persen, cabai rawit 0,03 persen dan telur ayam ras 0,02 persen.
Dengan demikian, kelompok bahan makanan secara keseluruhan memberikan sumbangan terhadap deflasi sebesar 1,97 persen.
Namun, kelompok pengeluaran lainnya masih menyumbang inflasi dengan inflasi tertinggi terjadi pada kelompok sandang 0,72 persen karena kenaikan harga emas perhiasan.
"Harga emas perhiasan yang sedang booming memberikan andil inflasi 0,04 persen. Kenaikan harga emas terjadi di 78 kota IHK, kenaikan tertinggi di Cirebon 10 persen dan Surakarta 9 persen," ujarnya.
Kelompok lainnya yang mengalami inflasi adalah kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga 0,47 persen, kelompok kesehatan 0,32 persen dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 0,28 persen.
Selain itu, kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar ikut memberikan andil inflasi 0,09 persen dan kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan 0,01 persen.
"Catatan khusus untuk kelompok transpor, yaitu tarif angkutan udara menyumbang deflasi 0,01 persen, karena permintaan menurun dan kebijakan penurunan harga tiket pada waktu tertentu," ujarnya.
Dengan pencapaian pada September 2019, maka inflasi tahun kalender Januari-September tercatat 2,2 persen dan tingkat inflasi tahun ke tahun 3,39 persen.
Dari 82 kota IHK, sebanyak 70 kota tercatat mengalami deflasi dan 12 kota menyumbang inflasi dalam periode ini.
Deflasi tertinggi terjadi di Sibolga sebesar 1,94 persen dan deflasi terendah di Surabaya sebesar 0,02 persen.
Sedangkan, inflasi tertinggi terjadi di Meulaboh sebesar 0,91 persen dan Watampone serta Palopo masing-masing sebesar 0,01 persen.
Inflasi Stabil di bawah 3,5 Persen
Suhariyanto mengatakan pergerakan inflasi yang stabil di bawah sasaran 3,5 persen hingga September 2019 merupakan pencapaian yang dapat mendorong daya beli masyarakat.
Suhariyanto menjelaskan selama ini pengendalian laju inflasi yang dilakukan pemerintah mampu menjaga stabilitas harga terutama bahan makanan.
Pergerakan harga yang stabil disertai oleh membaiknya kenaikan pendapatan ini dapat mendorong daya beli masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
"Inflasi semakin kecil semakin bagus, kalau ada kenaikan pendapatan dengan inflasi terjaga, maka daya beli masyarakat meningkat dan memberikan dampak kepada konsumsi," ujarnya.
Dengan menguatnya konsumsi rumah tangga, maka kinerja pertumbuhan ekonomi nasional tidak rentan terhadap gejolak yang berasal dari global.
Suhariyanto mengharapkan upaya pengendalian inflasi tersebut dapat dilakukan secara konsisten hingga akhir tahun, terutama dalam mengantisipasi tingginya permintaan pada periode Desember.
"Biasanya Desember harga-harga mulai mengalami kenaikan karena adanya liburan sekolah dan periode Natal dan Tahun Baru," ujarnya.
BPS mencatat terjadinya deflasi pada September 2019 sebesar 0,27 persen yang dipengaruhi oleh penurunan harga bahan makanan.
Komoditas yang mengalami penurunan harga antara lain cabai merah, bawang merah, daging ayam ras, tomat sayur, cabai rawit, telur ayam ras dan ikan segar.
Dengan pencapaian ini, maka inflasi tahun kalender Januari-September 2019 tercatat 2,2 persen dan inflasi tahun ke tahun (yoy) mencapai 3,39 persen. (ANTARA)
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...