Bu Maryani
SATUHARAPAN.COM - MARYANI memang istimewa. Bukan saja karena identitas seksualnya sebagai transgender—atau kerap disebut “waria”—yang membentuk dirinya. Itu memang benar, tetapi Maryani lebih dari itu.
Saya bertemu dengannya Februari lalu, bersama rekan-rekan peserta Sekolah Pluralisme Kewargaan, program pelatihan yang diasuh oleh CRCS (Center for Religious and Cross-cultural Studies) UGM, Yogyakarta. Kami semua, sekitar 30-an orang, suatu sore mengunjungi pondok pesantren waria Senin-Kamis Al-Fatah di kampung Notoyudan yang diasuh oleh Maryani.
Di ruang tamu yang sempit, Maryani menerima kami bersama beberapa teman warianya. Ia menuturkan tentang stigma buruk yang harus disandang seorang waria, kerinduan religius mereka, maupun pesantren unik yang diasuhnya.
Pesantren waria Al-Fatah sendiri dimulai pada 2008 atas inisiatif alm. K.H. Hamrolie Harun yang ingin melayani kaum tersisih. Seperti namanya, pesantren itu hanya berkegiatan setiap malam Senin dan malam Kamis. Di tempat itu, kaum waria diterima apa adanya untuk mereguk kedamaian agama, belajar membaca Al-Qur'an, shalat, dan dzikir. Sekarang pesantren itu didampingi Murtidjo, seorang ulama yang memiliki perhatian sama.
"Tanpa dukungan dan perhatian pak kiai, tidak mungkin kami ada," kata Maryani. "Kami juga manusia yang beragama, dan ingin beribadah seperti orang lain."
Kami terpana mendengar tuturannya. Malah Fuad Mahfud Azus, seorang guru ngaji di Ambon yang ikut datang, menulis kesannya di Ambon Ekspress (18 Februari 2013) tentang "Waria Istimewa" itu. Sungguh, ia memang pribadi istimewa. Dan kalau tak ada aral melintang, akhir April ini ia akan pergi menunaikan ibadah umroh ke tanah suci.
Selamat jalan, Bu Maryani.
Editor : Sabar Subekti
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...