Buku: Banyuwangi Festival Dongkrak Perekonomian
BANYUWANGI, SATUHARAPAN.COM – Rangkaian agenda wisata Banyuwangi Festival yang digelar sejak 2012 menjadi salah satu pemicu kemajuan daerah di ujung timur Pulau Jawa itu. Tidak hanya mengerek nama Banyuwangi, namun juga menggerakkan ekonomi.
Dias Satria, ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya, Malang, Rabu, 3 Oktober lalu, memaparkan hal itu. Secara mandiri, doktor ekonomi lulusan Adelaide University, Australia itu, mengkaji dampak ekonomi Banyuwangi Festival yang tiap tahun beragendakan lebih dari 70 atraksi wisata budaya, wisata alam, dan wisata olahraga.
Dias menuangkannya dalam buku berjudul Ekonomi Festival, yang diterbitkan resmi oleh Universitas Brawijaya serta diluncurkan belum lama ini. “Saya tertarik mengkaji dampak Banyuwangi Festival sebagai salah satu benchmark di Indonesia yang berhasil mengembangkan ekonomi kreatif dalam kemasan festival, tentu dengan tidak mengesampingkan masih ada beberapa hal yang perlu dibenahi,” ujar ketua Program Internasional Ekonomi Keuangan FEB Universitas Brawijaya tersebut, seperti dilansir situs resmi banyuwangikab.go.id.
Dias mengkaji Banyuwangi Festival dengan mengombinasikan ilmu manajemen event, destination branding, dan teori pariwisata berkelanjutan. “Ekonomi festival layak dipertimbangkan menjadi kajian serius, bahkan cabang ilmu baru, seperti halnya ekonomi pertanian, ekonomi perbankan, dan sebagainya. Hal ini mengingat sekarang banyak daerah menggarap festival, di mana salah satu yang paling awal memulai adalah Banyuwangi,” Dias memaparkan.
Menurut Dias, festival menjadi pengungkit paling efektif dalam meningkatkan promosi destinasi. “Buku ini juga me-review pelajaran dari festival-festival di berbagai belahan dunia yang terbukti mampu menggerakkan ekonomi lokal,” peraih gelar Young Economist Award dari Menteri Keuangan itu menambahkan.
Mengangkat Lokalitas
Buku tersebut, kata Dias, terinspirasi dari perjalanan studinya di South Australia ketika melihat event lokal, seperti Adelaide Fringe, Royal Adelaide Show, dan festival lokal lain. Tema “lokalitas” yang diangkat begitu jelas, sehingga mengangkat potensi lokal, baik seni-budaya, alam maupun atraksi yang menarik wisatawan.
“Ketika kembali ke Indonesia tahun 2015, saya takjub dengan branding Banyuwangi yang dikemas dalam ‘Banyuwangi Festival’. Saya belajar dari manajemen Banyuwangi yang secara integratif memajukan potensi lokal melalui beragam strategi pembangunan termasuk festival. Dalam waktu singkat, festival menjadi kekuatan ekonomi baru Banyuwangi,” paparnya.
Dari Banyuwangi Festival kemudian lahir nilai tambah yang mendorong investasi di berbagai sektor di Banyuwangi, seperti perhotelan, industri, pertanian, dan perdagangan. “Aksesibilitas juga menjadi sangat mudah. Dari dulu tidak ada penerbangan, sekarang sehari ada delapan penerbangan ke Banyuwangi dari Jakarta dan Surabaya,” ujarnya.
Menurut Dias, itulah “soft diplomacy” festival yang tidak dapat dihitung secara materi. Bahkan, dampak sebuah festival mampu mendorong citra positif destinasi, sehingga meningkatkan kebanggaan warga atas daerahnya yang secara beriringan memacu potensi-potensi lokal untuk berkembang. “Termasuk usaha-usaha ekonomi masyarakatnya,” kata Dias.
Editor : Sotyati
Lebanon Usir Pulang 70 Perwira dan Tentara ke Suriah
BEIRUT, SATUHARAPAN.COM-Lebanon mengusir sekitar 70 perwira dan tentara Suriah pada hari Sabtu (27/1...