Buruh Lampung Pertanyakan Kesejahteraan Pekerja
BANDAR LAMPUNG, SATUHARAPAN.COM – “Buruh bersatu, tak bisa dikalahkan!” Itulah yang diserukan ratusan buruh di Lampung, saat memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day, di bundaran Tugu Adipura, Kota Bandar Lampung, Jumat (1/5) siang.
Pusat Perjuangan Rakyat Lampung (PPRL) dalam peringatan tersebut menilai, sampai saat ini berbagai bentuk penindasan dan penghisapan rakyat pekerja masih sangat masif dilakukan, dalam bentuk tenaga kerja outsourcing atau kontrak, upah murah, pemberangusan serikat (union busting), dan kurangnya perlindungan sosial.
Selain itu, mereka menilai bahwa penghargaan terhadap pekerja sektor agraria, seperti petani dan nelayan, masih sangat kurang. Hal itu tampak dari kebijakan pemerintah yang masih tekesan memihak pada impor.
Dalam lembar aspirasinya, PPRL kelompok yang terdiri atas berbagai organisasi masyarakat (ormas) di Lampung, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, Federasi Serikat Buruh Karya Utama, dan ormas lainnya ini memperlihatkan bahwa Provinsi Lampung merupakan daerah termiskin ke-3 di Pulau Sumatera, dan menempati posisi ke-6 secara nasional. Hal tersebut tertera dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2013 yang menunjukkan jumlah angka kemiskinan di Lampung mencapai 1.253.830 jiwa atau 16,93%.
Melihat kondisi melonjaknya harga kebutuhan pokok, jumlah angka kemiskinan di provinsi ini kemungkinan akan meningkat, PPRL juga menggugat Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung sebesar 1.581.000 yang telah ditetapkan pemerintah, sebagai upah terendah Sesumatera.
Penindasan buruh, menurut kelompok ini, tidak hanya terjadi di tempat kerja, tetapi juga dalam bidang kehidupan sosial lainnya. Kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dinilai menambah beban dan semakin menyengsarakan kaum buruh. Dampaknya, harga kebutuhan pokok lainnya ikut merangkak naik.
Selain itu, menyerahkan harga BBM pada mekanisme pasar juga dipandang sebagai usaha liberalisasi ekonomi di Indonesia. PPRL melihat, rezim Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla membawa negara ini menuju sistem kapitalisme yang akan mengeksplioitasi tenaga kerja dan kekayaan alam. Sistem jaminan sosial dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang telah diterapkan pemerintah dianggap sebagai program kapitalistik, karena tidak ada bedanya dengan lembaga asuransi dan renternir dengan mengumpulkan dana rakyat tanpa perlindungan yang jelas.
Meski perjuangan May Day dalam “3:8”, yaitu 8 jam kerja, 8 jam istirahat, dan 8 jam rekreasi sudah dicapai, PPRL masih mempertanyakan pelaksanaan kebijakan itu. Menurutnya, dengan bekerja 8 jam sehari, rakyat pekerja seharusnya sudah mencapai kesejahteraan dan memiliki cukup waktu untuk beristirahat memulihkan tenaga dan pikirannya.
Selain itu, pekerja juga seharusnya dapat berinteraksi sosial dengan masyarakat agar dapat mengembangkan pengetahuannya, sehingga rakyat pekerja dapat menjadi manusia seutuhnya sebagai mahluk sosial, politik, ekonomi, spiritual, dan budaya.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
PGI Ajak Agama Bangun Perubahan Perilaku Pro Kehidupan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menyatakan bahwa agama berpe...