Calon Kepala Daerah dan Etika Kepemimpinan
SATUHARAPAN.COM – Otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan publik, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan mewujudkan kemajuan pembangunan yang merata di daerah. Otonomi daerah telah mendukung berjalannya proses demokrasi di Indonesia, yang ditunjukkan dengan meningkatnya peran masyarakat dalam proses pembangunan. Masyarakat memilih langsung kepala daerah yang akan memimpin daerahnya. Dengan pemilihan langsung, kepala daerah akan diberikan tanggung jawab oleh warga daerahnya, bukan DPRD ataupun partai politik. Maka setelah terpilih, kepala daerah juga dituntut untuk bertanggung jawab kepada warga daerahnya, melalui program dan kebijakan yang adil dan menyejahterakan.
Sayangnya, fenomena yang terjadi justru berbeda dengan ideal yang kita harapkan. Di beberapa daerah, pemerintahan daerah justru dipenuhi dengan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tercatat sampai akhir tahun 2014, ada 325 pemimpin daerah yang terjerat kasus korupsi. Ketimbang bertanggung jawab kepada seluruh warga daerahnya, para kepala daerah malah lebih memilih untuk bertanggung jawab kepada kelompok pendukungnya saja. Bukannya melunaskan utang kepada rakyat banyak yang berharap besar kepadanya, para kepala daerah justru berusaha melunaskan utang dana dan janji politik kepada elit pengusaha dan politik di daerahnya.
Fenomena ini dipertegas Prof. Wihana Kirana Jaya dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi di UGM tahun 2010 lalu. Ia menyatakan bahwa sejumlah studi yang dilakukan terhadap negara maju dan berkembang menunjukkan bahwa penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di satu sisi telah mendorong terciptanya akuntabilitas anggaran, namun di sisi lain juga membuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme serta memungkinkan terjadinya kontrol yang kuat dari para elit politik di daerah.
Persoalan otonomi daerah ternyata bukan hanya disebabkan tantangan eksternal, melainkan lebih banyak dirusak oleh kondisi internal. Masih banyak kepala daerah yang belum seiya-sekata antara ucapan dan tindakan. Setelah terpilih, para kepala daerah lupa akan janji politiknya kepada warga daerahnya. Kondisi ini semakin diperburuk dengan adanya oknum keluarga ataupun elit yang mencari keuntungan pribadi dari posisi kepala daerah.
(Calon) Kepala Daerah yang Bermartabat
Tugas seorang kepala daerah adalah bertanggung jawab memimpin masyarakat menuju cita-cita bersama. Dalam etika kepemimpinan, tanggung jawab ini dapat disebut sebagai nilai keutamaan yang melekat di dalam diri pemimpin tersebut. Kepala daerah yang bertanggung jawab dapat diminta penjelasan tentang tindakannya, dan bukan saja ia bisa menjawab – kalau ia mau- melainkan ia harus menjawab. Seorang kepala daerah bertanggung jawab tidak hanya kepada masyarakat luas, melainkan kepada dirinya sendiri, dan -kalau dia orang beragama- kepada Tuhan. Maka ketika seorang kepala daerah melakukan korupsi dan tidak melakukan tanggung jawabnya, di saat itu juga ia sebenarnya telah mencemarkan identitas diri dan Tuhannya.
Kepala daerah bukanlah sebuah profesi melainkan bentuk pengabdian tertinggi di daerah. Oleh karena itu, seorang kepala daerah dituntut memiliki karakter yang berintegritas serta mau mendengar hati nurani dirinya dan rakyatnya. Seorang pemimpin yang berintegritas akan bersikap adil saat memimpin daerahnya. Walaupun pemimpin tersebut tidak dipilih oleh semua penduduk, namun ketika sudah terpilih, dia tidak hanya menjadi pemimpin dari pendukungnya, melainkan pemimpin atas semua penduduk di daerahnya. Kepala daerah tersebut harus menjalankan kebijakan yang dapat dinikmati oleh setiap warga, tidak hanya para pendukungnya saja.
Hati nurani adalah “rambu” di dalam diri kita yang menilai tentang moralitas perbuatan-perbuatan kita, secara langsung dan kini. Hati nurani berhubungan dengan tingkah laku konkrit, antara baik dan buruk. Tidak mengikuti hati nurani berarti menghancurkan integritas pribadi kita dan mengkhianati martabat terdalam kita.
Pemimpin yang mengikuti hati nurani adalah pemimpin yang mau mendengar suara kebenaran dan jeritan rakyatnya. Hati nurani dapat menjadi rambu-rambu pengingat bagi kepala daerah saat memutuskan kebijakan dan tindakan. Kepala daerah yang menggunakan “rambu” hati nurani akan berusaha menjauhi pelanggaran-pelanggaran yang berpotensi menyebabkan kecelakaan bagi dirinya dan masyarakat yang dipimpinnya.
Menjelang pilkada yang akan berlangsung serentak akhir tahun nanti, setiap calon kepala daerah diharapkan dapat menunjukkan martabat terbaik dari dirinya. Calon kepala daerah harus menjadikan kepentingan warga daerahnya sebagai tujuan utama sehingga ketika terpilih, kepala daerah tersebut akan tetap berfokus kepada tujuan utamanya ini. Sikap ini sangat tepat diungkapkan oleh Immanuel Kant yang menyatakan, hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka.
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Centre for People Studies and Advocation (CePSA) dan saat ini sedang menyelesaikan Pascasarjana Studi Pembangunan ITB
Polri Siapkan Ambulans Udara Selama Operasi Lilin 2024 untuk...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM- Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melalui Korps Kepolisian Perairan da...