Capres Klaim Menang, Penyelenggara Pemilu Harus Bertindak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin mengatakan penyelenggara Pemilihan Umum seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), harus segera menggelar konferensi pers guna menjelaskan pada masyarakat terkait hasil hitung cepat yang tidak bisa dijadikan dasar kemenangan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden manapun.
âPenyelenggara pemilihan umum (pemilu) perlu mempertegas kembali bahwa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang sah adalah berdasarkan penghitungan manual KPU. Hasilnya mungkin saja mirip dengan hasil hitung cepat yang telah dirilis beberapa lembaga survei hari ini,â kata Said, melalui surel yang diterima satuharapan.com, Rabu (9/7).
Menurutnya, klaim kemenangan dari masing-masing pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada tingkat tertentu dapat dimaklumi. Sebab, kedua pasangan memiliki dasar keyakinan yang sama, yaitu berdasarkan hasil hitung cepat lembaga survei. Ada lembaga yang memenangkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, tetapi ada pula yang mengonfirmasi kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
âPerbedaan hasil hitung cepat oleh sejumlah lembaga survei dalam penyelenggaraan pilpres kali ini memang sangat mencolok. Pada edisi sebelumnya, perbedaan hasil hitung cepat biasanya hanya terkait dengan jumlah persentase, tetapi pihak yang menjadi pemenang cenderung sama,â tutur Said.
Said menyampaikan agar penjelasan dari penyelenggara Pemilu menjadi penting untuk disampaikan secepatnya agar masyarakat tidak larut dalam kebingungan, serta diharapkan dapat menciptakan suasana yang lebih kondusif.
Ia melihat hal tersebut disebabkan ada beberapa lembaga yang merilis kemenangan Prabowo-Hatta, maka wajar jika kubu pasangan nomor urut satu itu percaya diri sebagai pemenang Pilpres 2014. Demikian halnya dengan kubu Jokowi-JK yang merasa yakin keluar sebagai juara, karena hasil hitung cepat yang memenangkan mereka dirilis oleh beberapa lembaga sekaligus. Jadi kedua belah pihak punya landasan keyakinannya sendiri-sendiri.
âMemang sebagian masyarakat sudah memahami bahwa hasil hitung cepat bukanlah hasil resmi Pilpres. Tetapi adanya perbedaan hasil hitung cepat ini menimbulkan kebingungan di masyarakat. Sebab, sebagian publik kadang percaya bahwa hasil hitung cepat tidak akan jauh berbeda dengan hasil resmi KPU berdasarkan perhitungan manual.
Menurutnya hal tersebut menimbulkan pertanyaan di masyarakat, lembaga mana yang harus mereka percaya? Uniknya, diantara lembaga yang memenangkan Prabowo-Hatta, ada juga yang punya reputasi akurat dalam merilis hasil hitung cepat pemilu. Begitu juga dengan lembaga yang memenangkan Jokowi-JK, sebagian diantaranya pernah terbukti akurat saat merilis hasil hitung cepat.
Persoalan Bagi KPU
Dalam hal yang lain, hasil hitung cepat yang berbeda itu dapat menjadi persoalan tersendiri bagi KPU, menurut Said. Secara psikologis Komisioner KPU mempunyai beban mental karena sebelumnya ada anggota yang sempat dikabarkan berpihak kepada pasangan Jokowi-JK, pada kasus dugaan pembocoran materi debat, kemudian ada pula yang pernah diisukan menguntungkan pasangan Prabowo-Hatta pada saat pemungutan suara di Hongkong.
âApabila hasil resmi KPU nantinya ternyata memenangkan pasangan Prabowo-Hatta, maka bukan mustahil akan muncul serangan kepada KPU yang dilakukan oleh kubu Jokowi-JK, dengan mengaitkan pada kasus Hongkong itu. Sebaliknya, jika hasil resmi KPU memenangkan pasangan Jokowi-JK, maka bisa saja nantinya KPU dituding oleh kubu Prabowo-Hatta telah berpihak kepada pasangan nomor urut dua, karena sebelumnya ada anggota KPU yang dituding telah membocorkan materi debat,â kata Pengamat politik SIGMA itu.
Terhadap hal tersebut Said mengharapakan agar KPU tidak khawatir. Karena, sepanjang tidak ada putusan DKPP yang menyatakan Komisioner KPU telah melanggar kode etik penyelenggara Pemilu karena terbukti bersikap tidak netral atau terbukti menguntungkan pasangan calon tertentu, maka KPU semestinya tetap percaya diri dalam melaksanakan tugasnya.
âMeski demikian, agar publik percaya dan bisa yakin bahwa KPU netral dan profesional, maka apabila selama proses rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara, ditemukan ada anggota penyelenggara dibawahnya yang melakukan tindakan menyimpang, KPU harus langsung mengenakan sanksi terhadap mereka. KPU harus pro aktif memantau dan memonitor proses rekap ditingkatan bawah,â ucap Said.
âAkan tetapi sebaliknya, jika penyelenggara Pemilu ternyata terlibat dalam kecurangan, apalagi sifatnya terstruktur, sistematis, dan masif, maka besar kemungkinan Mahkamah Konstitusi (MK) akan memerintahkan pemungutan suara ulang atau penghitungan ulang di sebagian atau seluruh daerah. Bahkan, bisa saja MK membatalkan Keputusan pemenang Pilpres 2014 yang ditetapkan oleh KPU.
âJika MK menemukan adanya kesalahan penghitungan suara atau mendapati yang dilakukan oleh salah satu pasangan, maka bisa saja MK akan langsung menetapkan pasangan calon yang kalah menurut KPU menjadi pemenang Pilpres tahun ini. Sebab, hanya ada dua pasangan calon yang berlaga. Dalam kasus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilu Kepala Daerah hal yang semacam itu pernah terjadi,â tutup Said.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...