Cara MK Menafsir Makna Pasal 18 KUHAP Dikritik ICJR
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik keras Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 3/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Pasal 18 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini disampaikan ICJR pada siaran pers di Jakarta pada Jum’at (31/1).
MK dalam putusannya memberi tafsir kata ‘segera’ dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP. Pasal 18 ayat (3) KUHAP menyebutkan “tembusan surat perintah penangkapan scbagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan”
MK dalam putusannya menyebutkan bahwa ‘segera’ harus dimaknai selama 7 hari. Tafsir MK tersebut artinya mengubah pemaknaan Pasal 18 ayat (3) KUHAP menjadi TembusanSurat Perintah Penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan dalam jangka waktu tidak lebih dari tujuh hari.
MK dalam pertimbangannya hanya mendasarkan pada perbedaan jarak, cakupan, dan kondisi geografis dari masing-masing wilayah di seluruh Indonesia yang mengakibatkan kemungkinan dibutuhkan jangka waktu lebih dari 3 kali 24 jam. Maka waktu tujuh hari dianggap tenggat waktu yang logis.
Ketua Badan Pengurus ICJR Anggara mengkritik keras putusan dan pertimbangan MK itu. Karena waktu tujuh hari yang ditetapkan MK tersebut terlalu lama untuk sekedar memberikan surat tembusan pada keluarga tersangka. Anggara menyatakan bahwa bagaimana mungkin jangka waktu penangkapan adalah 24 jam namun surat tembusan penangkapan malah menjadi maksimal tujuh hari
Pasal 18 ayat (1) KUHAP juga menyebutkan petugas harus memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka. Dengan adanya identitas tersangka itu berarti petugas telah melakukan penyidikan dan penyelidikan terlebih dahulu sehingga petugas harus mengantisipasi kemungkinan perbedaan jarak, cakupan, dan kondisi geografis dari masing-masing wilayah di seluruh Indonesia.
Anggara menyebutkan bahwa selama ini masalah kontrol pada tindakan atau upaya paksa penyidik sangat minim. Memberikan tenggat waktu selama 7 hari sama saja memperluas kemungkinan adanya kesewenang – wenangan karena penggunaan kewenangan yang tidak terawasi dan semakin mempersempit ruang kontrol bagi aparat penegak hukum.
Praktek – praktek penegakkan hukum yang buruk justru dilegitimasi MK dengan jangka waktu tujuh hari untuk menafsirkan kata segera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP. Karena syarat penangkapan yang diatur dalam KUHAP sangatlah sederhana dan sama sekali tidak mensyaratkan adanya hak atas penasihat hukum (the rights to legal counsel) atau bantuan lain yang terkait dengan penangkapannya tersebut.
ICJR memperkirakan bahwa besar kemungkinan keluarga tersangka yang mengalami penangkapan semakin tidak akan mendapatkan informasi dengan segera mengenai keberadaan anggota keluarganya yang ditangkap diakibatkan keluarnya Putusan MK ini, Keluarga tersangka tidak dapat memberikan bantuan yang diperlukan dengan segera kepada anggota keluarga yang ditangkap itu.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...