Cerita Pilu Dayak Brusu di Sekatak
SATUHARAPAN.COM – Ada kebahagiaan kecil yang saya rasakan saat berada di Malinau, sebuah Kabupaten di propinsi baru, Kalimantan Utara. Mendengarkan secara langsung paparan program dan juga visi misi Bupati Malinau menaikkan gairah dan semangat, bahwa masih ada harapan perubahan Indonesia bisa dimulai dan diraih dari langkah-langkah kecil nan progresif dari kepala seorang kepala daerah.
Malinau mendeklarasikan diri sebagai Kabupaten Konservasi pada tanggal 5 Juli 2005. Hal ini menjadi upaya baik untuk menjaga keanekaragaman hayati di bumi Borneo, dan mimpi besarnya bisa memberikan kontribusi baik bagi lingkungan di pulau Kalimantan secara khusus dan Indonesia secara umumnya.
Kebahagiaan kecil itu terpaksa terenggut saat saya bergeser dari Malinau ke sebuah Kecamatan bernama Sekatak, menelusuri jalan darat selama 3 jam dari Malinau arah ke Tanjung Selor (ibu kota propinsi Kalimantan Utara). Untuk menuju ke sana, kami melewati sebuah Kabupaten baru bernama Tana Tidung.
Perjalanan kami melewati jalan yang sepertinya baru dibuka. Dalam pengamatan saya, jalan baru ini seperti membelah hutan. Jalanan masih berupa tanah, belum beraspal. Yang mengherankan adalah sepanjang jalan tersebut sepi, nyaris tidak bertemu penduduk. Berdasarkan pembicaraan dengan beberapa orang, ternyata Tana Tidung adalah sebuah Kabupaten yang “dipaksakan” ada untuk mencukupi persyaratan administratif membentuk propinsi baru.
Sampai di Sekatak pun cerita pilu pun dimulai. Di sana banyak sekali rumah yang dibangun pemerintah di bawah program Respen.
Program Bombastis
Pada awal tahun 1970-an program resettlement penduduk (Respen) menjadi program unggulan melalui Departemen Sosial untuk melakukan pemukiman kembali penduduk. Tujuan pertama program ini adalah untuk menghindari pergerakan masyarakat di wilayah perbatasan. Maksud dari program ini juga bagus, yaitu untuk mengembangkan ekonomi pedalaman, sehingga masyarakat mau menetap di suatu tempat yang ditentukan. Desa Bekiliu di Kecamatan Sekatak adalah salah satu desa hasil dari program Respen tersebut.
Suasana desa di sore hari sampai senja datang ramai dengan anak-anak yang bermain di luar rumah. Kebiasaan anak-anak bermain sampai hari gelap ini jarang bisa ditemukan di pedesaan di daerah Jawa, umumnya mereka saat hari sudah gelap berada di dalam rumah untuk belajar atau melaksanakan aktivitas yang lain bersama keluarga.
Desa Bekiliu ini tidak terlalu besar, hanya berjumlah sekitar 50KK. Bekiliu penduduknya homogen, semua dari suku Dayak Berusu, atau beberapa menyebut Belusu. Di desa tersebut terdapat Sekolah Dasar, tetapi harus berbagi dengan desa yang lain. Banyak yang sekolah di sini adalah anak di luar suku Dayak Belusu, beberapa suku Dayak Punan dan juga bahkan Bugis. Di pinggiran desa ada sebuah toko kelontong yang menjual keperluan rumah tangga, sayuran dan juga kios ikan. Listrik hanya dapat mereka nikmati sejak pukul 5 sore sampai dengan 6 pagi setiap harinya. Melihat fasiltas yang mereka dapatkan ini, apa bedanya dengan mereka tetap hidup di hutan? Selain tadinya hidup bersama dalam rumah panjang dan sekarang dipisah setiap kepala keluarga.
Tujuan mulia Respen agar masyarakat yang tinggal di pedalaman mendapatkan akses dan fasilitas yang bisa dijangkau oleh program pemerintah rupanya belum terwujud setelah kurang lebih 45 tahun program tersebut berjalan. Akses rumah yang mereka dapatkan tidak disesuaikan dengan kebutuhan (terutama untuk urusan upacara adat) masyarakat dayak Brusu. Di desa itu hanya terdapat satu rumah panjang, yang tentu saja tidak mampu menampung seluruh masyarakat Dayak Brusu yang ada di Desa Bekiliu.
Saat pagi sampai sore hari, bahkan hari sudah berganti, laki-laki banyak pergi ke hutan untuk berladang. Tentu saja, kebiasaan hidup mereka yang sejak nenek moyang mereka ada tidak bisa hilang begitu saja dengan program Respen. Lahan yang mereka miliki di sekitar rumah sempit, tidak bisa menanam pohon-pohon besar buah-buahan yang mereka dapat dari simpung (kebun buah) yang ada di hutan.
Sebenarnya, pola berladang orang Dayak tidak merusak lingkungan, mereka memang bermukim dan berladang berpindah, tetapi sesuai dengan siklus alami hutan. Pola berladang mereka bernama “pola ladang gilir balik”. Siklus proses berladang gilir balik ini adalah 20 tahun untuk kembali pada ladang yang pertama. Sistem ini memungkinkan hutan dan segala hal yang berada di dalamnya bisa kembali saat 20 tahun. Jadi rasanya tidak tepat mengatakan bahwa kebiasaan pola ladang berpindah yang mereka lakukan ini merusak lingkungan.
Bandingkan saja, lebih merusak mana saat HPH dikeluarkan pemetintah untuk para pengusaha? Saat ini HPH dengan mudah diberikan kepada pengusaha, siklus alami berladang bagi suku Dayak terganggu, dan saat mereka melewati lahan HPH tersebut, kriminalisasilah yang mereka dapatkan. Mereka dianggap orang luar yang masuk ke dalam kawasan milik perusahaan.
Kearifan lokal seperti ini yang tidak diperhatikan para pengambil kebijakan. Dengan mudah mereka mengeluarkan HPH sampai merusak tatanan alami pola berladang suku asli yang ada di Kalimantan tersebut. Alih-alih memperhatikan pola berladang mereka, tetapi mencerabut mereka dari akarnya untuk tinggal di rumah-rumah Respen. Tanpa persiapan matang secara sosial budaya maupun ekonomi, suku Dayak Brusu ini harus memasuki tahap hidup baru dengan cara melompat.
Implementasi tanpa Monitoring
Empat puluh lima tahun sudah program Respen berlangsung. Selama itu banyak kampung yang bisa berkembang, pun tidak jarang kampung yang ditinggalkan penduduknya. Salah satu contoh kampung Respen yang ditinggalkan warganya adalah kampung Maritam, terletak Tanjung Palas, Sekatak Buji Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. (Ahmad Bintoro dalam blog pribadinya dalam artikel “Menilik respen Dayak Brusu di Marintam", 2007).
Pengamatan selama dua hari di sana mungkin tidaklah cukup. Namun berbicara pada orang Flores yang ditransmigrasikan ke daerah Sekatak mendapatkan pemahaman, paling tidak bagaimana awal proses pelaksanaan program Respen tersebut. Dari hasil pembicaraan itu, sebagian orang Dayak Brusu sebenarnya tidak menyukai proses pemindahan itu. Bahkan ada beberapa perlawanan yang terjadi, yang akhirnya tetap berujung mereka harus meninggalkan hutan dan tinggal di kompleks Respen yang telah disediakan oleh Pemerintah.
Kampung Bekiliu , Sekatak ini juga tidaklah terlihat maju. Lingkungan rumah masih sama persis seperti saat rumah dan pekarangan itu diberikan oleh pemerintah, paling tidak, itu hasil pembicaraan dengan seorang pastor yang bertugas di sana. Anak-anak sering tidak bersekolah di jam sekolah. Saat pagi melintasi sebuah sekolah SD, kelas banyak yang kosong, dan anak-anak banyak bermain di lingkungan rumah mereka.
Lalu, pertanyaannya, adakah monitoring dari program ini? Benarkah tujuan program Respen ini membuat suku Dayak, terutama Dayak Brusu ini meningkat taraf hidupnya? Hal ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua, penggiat karya kemanusiaan maupun pemerintah untuk bisa mengawal sebuah program mulai dari perencanaan sampai melakukan monitoringnya. Bahkan, perencanaan dan monitoring secara partisipatif bersama dengan warga. Cukupkah membuat mereka menjadi “beradab” jika kemudian lompatan kehidupan bagi mereka ini hanya membuat sengsara?
Penulis adalah Direktur JKLPK (Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen)
Polusi Udara Parah, Pengadilan India Minta Pembatasan Kendar...
NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM-Pengadilan tinggi India pada hari Jumat (22/11) memerintahkan pihak berwe...