Dalam “Iklim Penuh Kesalahpahaman”, Anak-anak Belajar Persatuan
AUSTRALIA, SATUHARAPAN.COM – Ekteena, gadis Muslim-Australia berusia 11 tahun, memberi tanggapan sederhana saja ketika dipertemukan dengan rekannya, seorang Yahudi-Australia.
“Kami sama-sama lebih suka anjing daripada kucing. Kami berdua suka sekolah, dan kami lebih suka musim dingin daripada musim panas, karena kami bisa berpelukan di bawah banyak selimut,” katanya kepada Anna Kelsey-Sugg dan Michael Mackenzie yang menulis laporan ini untuk RN's Life Matters.
“Kami menyukai banyak hal sama.”
Mungkin ia tidak mengetahuinya, tetapi dengan jelas ia mengutarakan suatu hal yang memang ingin dilakukan oleh dua museum nasional - museum Islam, dan museum Yahudi.
Museum-museum itu, keduanya berlokasi di Melbourne, menciptakan Museums Together, sebuah program untuk menunjukkan kepada dunia yang lebih luas, bahwa dalam sejarah kita ada lebih banyak yang menyatukan daripada memecah-belah kita.
Melalui program itu, siswa Yahudi dari King David School dan siswa Muslim dari Sirius College saling mengenal, mempelajari agama dan budaya yang lain, dan berlatih sebagai pemandu di museum masing-masing.
Cayleigh Abel, petugas proyek pendidikan di Jewish Museum of Australia, mengatakan para siswa memiliki “pengalaman sinagog” dan “pengalaman masjid”. Dan, ia percaya itu adalah pembelajaran yang penting.
“Ada kebutuhan untuk mengajar siswa di usia yang sangat muda bagaimana terlibat dengan seseorang yang berbeda; bagaimana berbicara dengan seseorang yang berbeda, bagaimana memulainya,” katanya.
“Ini semua tentang mengajari anak-anak cara terlibat, bagaimana cara mengajukan pertanyaan terbuka, cara mendengarkan secara aktif.”
Sherene Hassan, direktur pendidikan di Museum Islam Australia, setuju bahwa pelajaran lintas budaya sangat relevan saat ini.
“Kita berada dalam iklim ketakutan dan kesalahpahaman, dan satu-satunya cara untuk mengatasi itu adalah dengan mengenal satu sama lain, untuk membangun persahabatan,” katanya.
“Itu jauh lebih penting daripada belajar tentang agama dari buku teks.”
“Kami Mirip, tetapi Kami juga Berbeda”
Di Museums Together, siswa belajar tentang bahasa Ibrani dan Arab, termasuk cara kerja huruf, cara menulis nama mereka, dan cara bermain papan permainan yang dirancang untuk mengajarkan aspek sejarah kedua agama.
“Kami bersama sekolah lain dan belajar tentang budaya lain, jadi kami tidak hanya membuat anggapan-anggapan tentang mereka,” kata Hannah, siswa sekolah King David.
Sherene Hassan mengatakan, dalam konteks sejarah, poin yang lebih umum muncul.
Ia mengatakan, “Ada ajaran dalam budaya Islam yang juga dapat ditemukan di Yudaisme, Kristen, Hindu, Sikh, bahkan humanisme; bahkan orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan.”
“Sering kali, kita mendengar tentang nilai-nilai Australia, atau nilai-nilai Australia seolah-olah orang Australia adalah satu-satunya orang yang memiliki nilai-nilai itu, tetapi pada kenyataannya, ini adalah nilai-nilai universal. Ini adalah nilai-nilai kemanusiaan,” katanya.
Ia mencontohkan, dalam ajaran Islam, “mengucapkanlah kata-kata yang baik atau tetap diam” – sebagai mana diajarkan Nabi Muhammad.
“Kami juga menemukan itu di Australia - jika tidak ada sesuatu yang baik untuk dikatakan, ya jangan katakan apa-apa,” ia mencontohkan.
Sherene Hassan menjelaskan, gagasan orang Yahudi dan Muslim menjalin pertemanan bukanlah konsep baru.
“Kekaisaran Ottoman mengirim kapal ke Spanyol untuk menyelamatkan orang-orang Yahudi yang melarikan diri dari Inkuisisi Spanyol,” ia mencontohkan.
“Dan, selama Holocaust, Muslim Albania terkenal karena menerima orang-orang Yahudi yang melarikan diri dari Holocaust.”
Dia mengatakan kisah-kisah seperti itu “melambangkan ajaran Islam sejatinya”.
“Apa yang kita lihat dilakukan oleh kelompok-kelompok di seluruh dunia, seperti Al Qaeda atau ISIS - itu bertentangan dengan ajaran Islam; kebalikan dari apa yang diperjuangkan oleh Islam,” katanya.
Ia berharap kesempatan untuk menyoroti sejarah Islam akan membantu mereka untuk “melihat Islam melalui kacamata yang berbeda”.
“Mereka akan melihat kesamaan antara ajaran mereka sendiri dan ajaran Islam,” katanya, “Itu adalah pesan kunci yang sangat penting yang ingin kami bangun - kesamaan kita.”
Cayleigh Abel mengatakan kesamaan itu “pasti sesuatu yang ingin didorong”. Tetapi, ia mengatakan perbedaan pun sama pentingnya.
“Ini adalah konsep yang benar-benar matang untuk memahami bahwa kita sama, tetapi kita juga berbeda, dan tidak masalah untuk berbeda,” katanya.
“Luar biasa kita memiliki kesamaan itu, tetapi kami juga mendorong para siswa untuk menerima bahwa kita juga memiliki perbedaan, dan itu baik-baik saja.”
Kita Semua Manusia
Ekteena mengatakan ia memiliki harapan besar program ini berlanjut. “Pada akhir ini saya berharap orang-orang berkumpul dan tidak berasumsi dan mereka mempercayai orang lain,” katanya.
“Saya ingin (para siswa Yahudi) belajar tentang budaya Islam, dan saya ingin belajar tentang mereka juga.”
Seperti Ekteena, salah satu rekan Yahudi-nya, siswa Kelas 6, Gabriel mengaku memiliki pemahaman baru melalui pertemuan singkat itu yang ingin ia bagikan.
“Kita semua manusia, dan kita semua sama ... jika saja seluruh dunia (mengerti), itu akan jauh lebih baik,” katanya. (abc.net.au)
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...