"Dalan Padhang" Astuti Kusumo
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Setelah tahun lalu menggelar pameran tunggal di Bentara Budaya Yogyakarta, perupa perempuan asal Yogyakarta Astuti Kusumo kembali menggelar pameran tunggal bertajuk "Dalan Padhang" di Jogja Gallery Jalan Pekapalan Yogyakarta 14-25 Juli 2018.
Secara visual ada perubahan pemakaian warna pada karya Astuti dari sebelumnya dominan dengan warna biru-hijau-merah matang menjadi warna-warna cerah dan soft/pastel, serta hilangnya figur-figur deformasi bentuk manusia.
"Perubahan warna itu hanya bagian kecil dari dalan padhang yang sedang terjadi dalam proses berkarya saya akhir-akhir ini," jelas Astuti saat ditemui satuharapan.com, Sabtu (21/7) sore.
Dalan padhang secara harfiah berarti jalan terang menjadi semacam pencerahan (enlightenment) bagi Astuti dalam proses yang terus berlangsung dalam setahun terakhir dan bisa bermula dari hal-hal kecil di sekitarnya.
Secara sederhana Astuti melakukan eksplorasi pada lingkungan tempat tinggalnya, Kotagede dengan suasana kehidupan sehari-hari: berteman dengan hewan peliharaan, aktivitas pasar, idiom-idiom bahasa Jawa, situs-situs Kotagede, kegiatan seni tradisi-modern, potret hubungan antar manusia, hingga paling sederhana tetumbuhan di sekitar rumahnya.
Kotagede dengan entitas keroncong yang sejak tahun 2015 menggelar Pasar Keroncong Kotagede di sekitar Pasar Gede terekam dalam dua karya berjudul "Pasar Keroncong" dan "Sarlegi".
Dibanding pada pameran-pameran sebelumnya, tema yang diangkat dalam karya-karya Astuti dalam pameran Dalan Padhang terasa ringan tanpa kehilangan kedalaman rasa-makna: "Bercanda", "Sudut Kota", "Tak Tergantikan", "Balancing". Pada karya berjudul "Naluri" dengan figur ibu memeluk balita dalam gendongan muncul karakter Astuti dalam pemilihan warna yang kuat: hijau pekat dan jingga pastel. Astuti seolah menemukan dalan padhang dalam tema yang sederhana, ringan, lugas, dan humanis.
Pernahkah Anda melihat bunga ilalang berwarna putih? Dalam "Bunga Ilalang" Astuti merekamnya dengan goresan warna-warni yang terkesan absurd. Selain pencerahan, Astuti mengalami pembebasan dari tema-tema berat semisal dari epos Rama-Shinta ataupun dunia perwayangan yang banyak mewarnai karyanya terdahulu dan tidak ingin terjebak dalam permainan karya realis. Setidaknya hal ini bisa dilihat dalam karya "The Dog", "Berteman Kucing" dimana Astuti sedang tidak ingin menjadi perealis apalagi surealis.
Penggunaan idiom Jawa tertangkap dalam karya berjudul "Holobis Kuntul Baris" dan "Aja Dumeh", sementara sebagai situs Kotagede sebagai pusat kerajaan Mataram di masa lalu dalam konteks saat ini direkam Astuti pada karya "Gapura Masjid Gede" dan "Gerbang Pintu Masjid Gede".
Eksperimen warna terasa dalam pada dua karya Astuti "Dancing in the Light" dengan warna biru gelap serta "New Day" dalam rona hijau tosca. Dalam eksperimen dengan warna-warna cerah cenderung soft, Astuti justru menampilkan warna yang semakin matang pada "Dancing in the Light". Dalam satu karya berjudul "Dancing with Me" Astuti benar-benar mengajak bergembira dengan komposisi warna-warni serta goresan garis yang menarik.
Pada pameran "Dalan Padhang" mungkin Astuti sedang bercerita tentang dirinya sendiri dalam sebuah penemuan jalan pembebasan. Setidaknya dalam proses berkaryanya. Setiap orang tentu punya pengalaman, pemahaman, sudut pandang yang beragam tentang dalan padhang itu sendiri. Dan Astuti menemukannya dalam wilayah paling dekat dan paling intim: dirinya sendiri.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...