Damai, Norma Baru dalam Aksi Protes
SATUHARAPAN.COM - Meriam air, pembatas besi, polisi, dan pengunjuk rasa yang saling mengejek, orang-orang yang terluka, benteng aparat dengan persenjataan lengkap, dan lainnya, merupakan gambaran umum aksi protes di Korea.
Namun, hal-hal tersebut tidak ditemui pada aksi protes terhadap Presiden Park Geun-hye, Sabtu (12/11) lalu. Satu juta orang berjalan sambil bergandengan tangan melewati 16 jalan di Gwanghwamun Square.
Satu juta orang tersebut berjalan dari pusat Kota Seoul dalam damai, bahkan ketika mereka melewati daerah Cheong Wa Dae, tempat presiden tinggal. Orang-orang berjalan sambil membawa lilin dan poster meminta pengunduran diri Park, namun mereka tidak mencoba untuk membuat keributan dengan 25.000 anggota polisi yang berjaga dengan senjata lengkap.
Ada sedikit ketegangan, tetapi tidak seperti aksi-aksi sebelumnya yang bisa mengakibatkan adanya korban luka baik dari pihak pengunjuk rasa maupun aparat keamanan.
Aksi itu adalah aksi terbesar dalam sejarah modern Korea yang berlangsung selama 12 jam dengan melibatkan karnaval besas. Protes diiringi dengan musik dan nyanyian. "Park Geun-hye mundurlah!" Orang-orang menertawakan poster dan melakukan pertunjukan-pertunjukan menghina presiden dan orang-orang kepercayaannya. Beberapa orang membawa alat musik untuk dimainkan, dan orang-orang menari mengikuti irama musik. Orang-orang juga membawa makanan ringan untuk dimakan.
Para penyanyi dan komedian mengisi panggung-panggung menghidupkan keramaian. Media-media di Korea menyatakan bahwa sejarah akan mengingatkan bahwa aksi unjuk rasa ini akan dicatat sebagai kematangan masyarakat Korea dalam menyampaikan inspirasi mereka.
Jalan-jalan tetap bersih. Orang-orang membuang sampah mereka di tempat-tempat yang ditentukan, dan sukarelawan membersihkan area setelah aksi selesai. Stasiun kereta bawah tanah mengangkut orang-orang yang berujuk rasa pulang dan pergi, namun orang-orang melakukan dengan sikap yang baik. Hal itu tidak terjadi pada aksi-aksi sebelumnya. Para peserta aksi juga mengumpulkan dompet-dompet yang tertinggal dan mencari anak-anak yang terpisah dengan orang tuanya. Aksi protes damai itu berlangsung karena kesadaran dari para peserta aksi. Padahal, para peserta berasal dari berbagai usia, mulai dari anak berumur 3 tahun sampai orang-orang tua. Mereka tidak hanya termotivasi oleh frustrasi yang mereka rasakan, namun juga karena cinta mereka kepada negeri mereka. Mereka menginginkan masa depan yang lebih baik bagi anak dan cucu mereka. Mereka ingin anak dan cucu mereka hidup di negara demokrasi yang makmur. (koreatimes.co.kr/spw)
|
Editor : Sotyati
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...