Dana Kampanye Caleg Empat Kali Lipat dari Pemilu 2009
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Biaya untuk menjadi seorang calon anggota legislatif dan berkampanye telah naik tiga kali lipat dibandingkan pemilihan umum pada tahun 2009. Seorang membutuhkan investasi kampanye rata-rata Rp 1,1 miliar.
Hal itu terungkap dalam seminar yang diadakan oleh Policy Research Network (PRN) dengan tajuk “Menjadi Wakil Rakyat: Investasi dan Relasi Calon Legislatif” di Jakarta, Rabu (19/3). Teguh Hartanto, salah satu pembicara dari Associate Researcher LPEM FEUI menyatakan bahwa dana pemilu tahun 2014 naik empat kali lipat dari pemilu 2009.
“Untuk dapat duduk di kursi legislatif, seorang caleg DPR RI harus mengeluarkan dana investasi kampanye sebesar Rp 1,1 miliar,” kata dia. “Angka ini naik empat kali lipat dari pemilu terakhir tahun 2009 yang hanya berkisar Rp. 250 juta per caleg. Total dana seluruhnya yang akan berputar pada pemilu 2014 ini diperkirakan mencapa Rp 115 triliun.”
Dampak pada Pertumbuhan Ekonomi
Dampak dari perputaran uang yang begitu besar ini dirasakan oleh beberapa sektor pelaku ekonomi yaitu, industri kertas, karton dan percetakan sebesar 18 persen, transportasi dan komunikasi sebesar 17 persen dan industri tekstil, pakaian dan kulit sebesar 12 persen.
“Perputaran yang begitu besar ini tidak bisa dihindari. Pemilu 2014 adalah peristiwa politik yang bisa memberikan stimulus perekonomian dan menciptakan lapangan kerja di Indonesia,” kata dia menambahkan.
Menurut dia, seorang caleg merupakan agen ekonomi yang rasional yang berarti ini merupakan investasi politik sekaligus pengorbanan bagi caleg tersebut. Rata-rata setiap caleg berharap bahwa mereka akan mendapatkan sesuatu seperti pendapatan resmi maupun tidak resmi dan pengakuan sosial di mata masyarakat ketika caleg tersebut terpilih.
Tingkat Kewajaran Investasi Politik
Dalam seminar tersebut, Teguh memaparkan tentang tingkatan wajar terhadap dana kampanye yang dikeluarkan oleh seorang caleg. Menurut dia, dalam kelas DPR RI dan DPPD Provinsi, dana yang dikeluarkan oleh caleg sekitar Rp 787 juta (DPR RI) dan Rp. 320 juta (DPRD Provinsi) adalah yang paling kecil. Dengan jumlah dana tersebut akan sangat sulit bagi caleg tersebut bisa terpilih.
Lalu investasi yang dinilai wajar adalah ketika caleg tersebut mengeluarkan dana sekitar Rp 1,8 miliar hingga Rp 4,6 miliar (DPR RI) dan Rp. 481 juta hingga Rp. 1,5 miliar (DPRD Provinsi). Investasi akan menjadi tidak wajar adalah jika sampai sebesar Rp 4,6 miliar hingga Rp 9,3 miliar (DPR RI) dan Rp. 1,5 miliar hingga Rp 3 miliar (DPRD Provinsi). Sedangkan yang tidak rasional adalah ketika caleg tersebut mengeluarkan dana kampanye sebanyak diatas Rp 9,3 miliar (DPR RI) dan lebih dari Rp 3 miliar (DPRD Provinsi).
Batas tidak wajar dan tidak rasional itu dinilai dari kalkulasi pendapatan resmi angota Dewan yang angkanya tidak akan sampai pada titik itu. Hal inilah yang memicu tindak korupsi ketika kelak mereka menjabat sebagai legislator.
Harapan Berlebihan Para Caleg
Dalam penelitiannya, Teguh menyimpulkan bahwa harapan yang berlebihan terhadap penghasillan tidak resmi menjadi anggota Dewan akan mendorong para caleg “royal” dalam melakukan investasi politik. Dalam hal ini adalah dana kampanye mereka hingga sampai taraf yang tidak wajar dan mencederai etika dan kesantunan dalam berpolitik.
Caleg yang royal tersebut akan memiliki kecenderungan untuk melakukan praktik korupsi untuk mengembalikan modal kampanye.
Teguh berharap bahwa suatu saat nanti perlu adanya pembatasan dana kampanye untuk para caleg, sehingga akan menjadi pemilu yang sehat meskipun pembatasan dana kampanye tersebut masih menjadi perdebatan saat ini. Menurut dia dengan mencari nilai optimal bisa dijadikan batas atas untuk pembatasan dana kampanye.
Editor : Sabar Subekti
Jaktim Luncurkan Sekolah Online Lansia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur meluncurkan Sekolah Lansia Onl...