Darmin: Kesimpulan OECD Tak Bisa Samakan Kebijakan Jokowi-JK
Darmin mengatakan, bahwa yang dikritik OECD mengenai kebijakan Pemerintah Indonesia, hal tersebut tidak bisa disamakan semua dengan kesimpulan buruk yang disampaikan dalam survei mereka.
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, meragukan kritik tajam dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) kepada pemerintah Indonesia di bawah kepimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang disampaikan dalam survei tentang perekonomian Indonesia 2016 yang dilansir hari Senin (24/10).
Di antara penilaian The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD terhadap perekonomian Indonesia, ialah bahwa tata kelola pemerintahan Jokowi-JK tergolong buruk bila dibandingkan dengan negara-negara emerging market lainnya.
Dalam ringkasan atas survei mereka, yang ditampilkan pada laman resmi organisasi itu, OECD menunjuk contoh kebijakan pemerintah menargetkan 20 persen dari pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan 5 persen untuk kesehatan.
Darmin sempat meragukan survei OECD tersebut sebelum ditunjukkan foto-foto grafik yang menunjukkan peringkat tata kelola pemerintahan Indonesia yang buruk, yang ditampilkan oleh OECD dalam survei tahunannya tentang Indonesia.
"Ah... yang benar? Ah... yang benar?" kata Darmin kepada satuharapan.com di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, hari Selasa (25/10).
Setelah melihat foto-foto survei OECD yang ditunjukkan, Darmin mengatakan, bahwa yang dikritik OECD mengenai kebijakan Pemerintah Indonesia, hal tersebut tidak bisa disamakan semua dengan kesimpulan buruk yang disampaikan dalam survei mereka.
Mengenai kebijakan pemerintahan, menurut Darmin, merupakan penilaian yang boleh saja dilakukan oleh masing-masing pihak. Jadi siapapun, kata dia, termasuk OECD silakan saja memberikan pandangan.
"Ya itu kan soal kebijakan. Itu enggak bisa dengan hal-hal seperti itu kesimpulannya buruk," kata Darmin.
"Soal kebijakan ya itu adalah ini masing-masing, assessment masing-masing. Jadi ya dia, siapapun, ya boleh saja kasih pandangan," dia menambahkan.
Dalam laporannya, OECD menilai, target belanja yang besar seperti halnya untuk pendidikan dan kesehatan itu, di satu sisi merupakan gambaran prioritas pemerintah Indonesia. Tetapi, menurut OECD, hal ini tidak efisien karena tidak ada batasan mengenai bagaimana cara menggunakan dana tersebut.
Oleh karena itu, OECD menyarankan perlunya adanya hubungan lebih erat antara belanja tahunan dan tujuan jangka menengah, sekaligus dengan penganggaran yang berbasis kinerja. Hal itu, lanjut OECD, harus disertai dengan evaluasi sistemik terhadap program penyelenggaraan administrasi yang sudah ada dan yang masih dalam perencanaan.
"Sudah ada rencana untuk mengingkatkan anggaran 2017, tetapi ini baru berlaku untuk pemerintah pusat," demikian OECD.
Hambatan utama dalam hal tata kelola pemerintahan, menurut OECD, terutama terjadi di tingkat daerah. Dikatakan, ada perbedaan kinerja yang ekstrem di antara berbagai tingkat pemerintahan dan di antara berbagai daerah.
"Hal ini semakin mempertegas pentingnya meingkatkan kapasitas, terutama melalui pelatihan. Upaya-upaya tersebut hendaknya ditujukan bagi daerah yang memang memerlukannya, termasuk daerah yang mendapat peringkat rendah dalam pemerintahan dan daerah yang kesulitan dalam membelanjakan alokasi anggaran atau dalam melaporkan data statistik."
Di bagian lain paparannya, OECD memuji transformasi yang dialami oleh perekonomian Indonesia dalam dua dekade terakhir. Dikatakan, pertumbuhan yang kuat telah mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan dan memungkinkan kemajuan penting dalam bidang-bidang seperti kesehatan dan pendidikan.
Hanya saja, rendahnya tingkat belanja publik dan penerimaan pajak, menurut OECD, telah merusak kualitas pelayanan sosial dan memperburuk kesenjangan infrastruktur.
Lebih jauh, OECD menyimpulkan bahwa sementara penghapusan beberapa subsidi BBM telah mendukung peningkatan belanja di bidang-bidang prioritas seperti kesehatan, pendidikan dan infrastruktur, diperlukan tindakan lebih lanjut. Pengeluaran untuk subsidi energi yang tidak efisien masih sangat tinggi (sekitar 7 persen dari belanja publik) dan mendorong kegiatan polusi intensif.
"Subsidi ini harus dihapus, dilengkapi dengan investasi di energi terbarukan dan panas bumi untuk memenuhi meningkatnya kebutuhan energi," demikian OECD.
OECD juga menunjukkan bahwa korupsi masih tetap hambatan utama untuk melakukan bisnis di Indonesia. OECD merekomendasikan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberikan lebih banyak sumber daya dan wewenang, dan mendukung perluasan kegiatan pelatihan ke dalam wilayah Indonesia untuk mendorong pemerintah daerah mengidentifikasi dan mengatasi korupsi secara lebih baik.
Dalam kesempatan meluncurkan rekomendasi atas hasil kajian ini, Sekretaris Jenderal OECD, Angel Gurria mengatakan: "Semakin banyak orang Indonesia yang menikmati standar yang lebih tinggi berkat kemajuan ekonomi dan sosial yang luar biasa di Indonesia. Masih banyak tantangan, tetapi pemerintah bergerak ke arah yang benar dengan mengurangi hambatan untuk melakukan bisnis, memperbaiki lingkungan investasi, dan memotong subsidi."
Sementara itu, Angel Gurria pada hari Senin (24/10) memimpin delegasi OECD menemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta.
OECD adalah sebuah organisasi internasional dengan tiga puluh negara anggota yang menerima prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas. Berawal tahun 1948 dengan nama Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi Eropa (OEEC - Organisation for European Economic Co-operation), ia awalnya dipimpin oleh Robert Marjolin dari Prancis, untuk membantu menjalankan Marshall Plan, untuk rekonstruksi Eropa setelah Perang Dunia II.
Kemudian, keanggotaannya merambah negara-negara non-Eropa, dan tahun 1961, dibentuk kembali menjadi OECD oleh Konvensi tentang Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi.
Negara anggota pendiri terdiri dari Amerika Serikat, Austria, Belanda, Belgia, Inggris, Bosnia dan Herzegovina, Denmark, Republik Irlandia, Islandia, Italia, Jerman, Kanada, Luksemburg, Norwegia, Prancis, Portugal, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki dan Yunani.
Sedangkan negara yang bergabung kemudian adalah Jepang (1964), Finlandia (1969), Australia (1971), Selandia Baru (1973), Libya (1983), Meksiko (1994), Republik Ceko (1995), Korea Selatan (1996), Hungaria (1996), Polandia (1996), Slowakia (2000), Chile (2010), Slovenia (2010) dan Israel (2010).
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Risiko 4F dan Gejala Batu Kantung Empedu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokter spesialis bedah subspesialis bedah digestif konsultan RSCM dr. Arn...