Demam Berdarah di NTT, Pemerintah Semestinya Tidak Andalkan Pengasapan
NUSA TENGGARA TIMUR, SATUHARAPAN.COM – Sebanyak 6.639 kasus demam berdarah dengue (DBD), muncul di berbagai wilayah Indonesia sepanjang Februari hingga Maret ini, dengan mayoritas penderita berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Di NTT, 32 penderita DBD meninggal dunia, 13 di antara mereka berada di Kabupaten Sikka.
Pemerintah setempat bersiasat dengan semakin giat menggelar pengasapan untuk membasmi sarang nyamuk, walau strategi itu dianggap 'boros anggaran' dan tidak berkelanjutan.
Penggunaan bakteri wolbachia, diyakini lebih ampuh dan murah untuk mencegah wabah DBD yang terjadi setiap tahun.
Per Senin (9/3), terdapat 2.697 warga NTT yang terinfeksi virus demam berdarah, sehingga pemerintah menyatakan peristiwa ini sebagai kejadian luar biasa. Wabah ini terjadi meski pemerintah setempat mengklaim sudah memulai program kewaspadaan demam berdarah sejak September 2019.
Untuk memutus rantai penyebaran virus DBD, Kepala Dinas Kesehatan NTT, Dominikus Minggu Mere, menyebut pemerintah akan memperbanyak program pengasapan dan pembersihan lingkungan. Tujuannya utamanya, kata dia, pemberantasan sarang nyamuk.
"DBD penyakit berbasis lingkungan jadi di lapangan sudah ada kerja bakti dan sosialisasi melalui gereja," katanya di Maumere, Senin (9/3) kemarin, seperti dilaporkan Hengky, wartawan lokal yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, yang dilansir bbc.com pada Selasa (11/3).
"Di Sikka, bupati sudah menginstruksikan pemberantasan sarang nyamuk. Tapi itu perlu dioptimalkan lagi. Perlu ada kesinambungan, dilakukan setiap hari," kata Dominikus.
Setiap tahun, menurut data Kementerian Kesehatan, kejadian penyakit DBD di Indonesia cenderung meningkat pada pertengahan musim penghujan atau sekitar Januari.
Kemenkes, secara resmi bersurat ke Kementerian Dalam Negeri agar mengingatkan kepala daerah, untuk aktif memimpin program pembasmian sarang nyamuk.
Salah satu upayanya, selain pengasapan dan pembersihan lingkungan, adalah menjalankan gerakan satu rumah satu juru pemantau jentik nyamuk.
Namun solusi itu tidak cukup, menurut Eggi Arguni, pengajar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada.
Bersama sejumlah peneliti di World Mosquito Program (WMP), Eggi menemukan penyebaran bakteri wolbachia kepada nyamuk akan mujarab memutus rantai virus DBD.
Dalam penelitian mereka, kasus DBD di salah satu wilayah kota Yogyakarta menurun 74 persen, setelah mayoritas nyamuk di lokasi itu mengandung bakteri wolbachia.
Penelitian yang sama juga menunjukkan hasil serupa di negara lain seperti Vietnam, Brasil, dan China.
Eggi berkata, pemerintah perlu mengadopsi penelitian seperti ini, agar Indonesia tidak lagi menjadi daerah endemis DBD. Strategi semacam ini disebutnya lebih efektif dari segi ongkos karena hanya perlu dilakukan sekali.
"Berapa banyak uang yang kita anggarkan di APBD untuk fogging dan program lain yang dilakukan terus-menerus," kata Eggi via telepon.
"Setiap tahun anggarannya masuk ke APBD tapi kasus infeksi DBD juga banyak. Anggaran daerah tersedot banyak sekali."
"Kami menekankan pada faktor keberlanjutannya dibandingkan program yang terus-menerus dilakukan tiap tahun. Ini lebih bisa efektif," katanya.
Persoalannya, wabah DBD di NTT terjadi bukan cuma karena sarang nyamuk yang bertebaran di berbagai titik, tapi juga kesiapsiagaan dan diagnosis petugas medis yang tidak tepat.
Elisabeth, warga Maumere, Sikka, bercerita tentang anaknya, Stefani Nasa, yang berulang kali diberi obat pereda nyeri lambung di sejumlah klinik dan rumah sakit.
Baru belakangan Stefani dinyatakan menderita DBD, setelah pingsan beberapa kali dan menderita demam tinggi selama lima hari.
"Awalnya dia panas, langsung kami bawa ke klinik. Di sana diberi obat lambung. Besok paginya suhu badannya turun, tapi sore panas lagi. Diberi obat, dingin lagi dua hari," kata Elisabeth.
"Waktu badannya panas lagi, dokter beri dia obat lambung karena setiap hari dia memang makan mi. Hari kelima dia pingsan, kondisi fisiknya jatuh," katanya.
Menurut Eggi dan tim pakar di WMP, dokter berada di lini terdepan untuk mencegah kematian dalam kasus DBD. Tata laksana penanganan pasien pun disebutnya harus disusun secara tepat oleh rumah sakit.
Seiring jumlah kasus DBD yang tinggi di NTT, persoalan ketersediaan ruang untuk pasien baru muncul, selain jumlah dokter yang tidak sebanding dengan penderita.
Terkait ini, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang ditemui di Maumere berkata, "Yang terpenting bukan sarana, tapi terapi yang dilakukan."
"Dengan pendekatan preventif promotif, jumlah kasus bisa menurun sehingga sarana memadai dan pasien bisa diselamatkan dengan bantuan obat dan tenaga medis," katanya.
Jumlah kasus infeksi DBD pada awal 2019 diklaim Kemenkes lebih tinggi dibandingkan kejadian tahun ini, yaitu sekitar 160.000 kasus. Hingga berita ini diturunkan, kasus DBD dalam skala besar juga melanda Lampung, Ciamis, dan Tulungagung. (bbc.com)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...