Denyut Seminari Menengah Yang Berubah Saat Pandemi
SATUHARAPAN.COM - Tinggal bersama di asrama dan memiliki jadwal tersendiri. Mulai sejak bangun tidur di pagi hari sampai dengan kembali tidur di malam hari. Begitulah denyut kehidupan sehari-hari para seminaris, siswa-siswa, yang menjalani pendidikannya di seminari menengah.
Situasi menjadi berubah ketika Covid-19 melanda Indonesia. Pandemi Covid-19 mengubah pola perilaku manusia. Demikian halnya dengan Seminari Menengah Wacana Bhakti Jakarta ini. Denyut kehidupan di tempat pembibitan atau tempat persemaian benih-benih calon pastor Katolik mengalami perubahan.
Jantung kegiatan belajar mengajar yang tadinya terpusat di seminari menjadi bergeser. Tidak lagi harus berada di `seminarium', tempat persemaian khusus mereka. Mereka pun ada yang tidak tinggal di dalam asrama.
Dampaknya, pendampingan para seminaris sulit dilakukan. Di luar seminari jadi susah memantau.
Pihak seminari kemudian meminta bantuan para orang tua seminaris untuk terlibat melakukan pendampingan selama seminaris berada di rumah.
Kondisi ini digambarkan Rektor Seminari Menengah Wacana Bhakti Romo Adrianus Andy Gunardi Pr sebagai,“Ada yang ideal tetapi situasi saat ini tidak bisa ideal.”
Perubahan Kegiatan Belajar Mengajar
Denyut seminari yang berubah diceritakan Brilian. Di bulan Maret, pihak seminari memulangkan para seminarisnya. Ia bersama 20 seminaris seangkatannya belajar dari rumah sejak itu.
Kini sebagai siswa kelas satu Brilian menguraikan bagaimana aktivitas belajar di masa pandemi menjadi lebih susah.
“Susah komunikasi. Kalau di sekolah langsung, pembelajarannya lebih lancar dibandingkan dengan pembelajaran jarak jauh ini.”
Koneksi internet adalah hal yang paling ia keluhkan dalam mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau kelas daring. Persoalan koneksi internet bisa timbul dari mana saja saat kegiatan belajar mengajar. Baik dari pihak guru maupun siswa.
“Kadang-kadang juga dari pihak guru atau yang lain. Misalnya ada kawan yang sedang presentasi, tiba-tiba jaringan terputus. Itu sangat menghambat.”
Brilian merasa kegiatan belajar mengajar lebih efektif saat tatap muka langsung di seminari.
Orang tua Brilian, Dolly Silviana, sangat memahami keluhan puteranya. Ada perbedaan yang dirasakan puteranya saat belajar di rumah dibandingkan dengan di seminari.
“Kalau pilih yang terbaik sudah pasti harus kembali ke seminari menurut saya. Karena pendampingan keseminarisan didapat langsung di seminari. Itu pasti akan terasa berbeda ketika di rumah.”
Ia melanjutkan,”Karena ada hal-hal di luar kontrol saya sebagai orang tua yang mungkin tidak begitu paham bagaimana pendampingan di seminari itu dibentuk. Yang paham sekali pastinya pihak seminari. Mereka lebih tahu yang terbaik.”
Di sisi lain sebagai orang tua seminaris, Dolly, menilai upaya seminari dalam pendampingan sudah cukup baik. Dalam kondisi pandemi Covid-19 ini metode belajar juga harus disesuaikan.
Ada 96 siswa di Seminari Menengah Wacana Bhakti saat ini. Hampir 98 persen berasal dari Jakarta.
Di samping seminaris belajar jarak jauh, ada juga seminaris yang belajar di seminari. Mereka berjumlah 52 siswa. Terdiri dari siswa kelas nol dan kelas tiga. Sementara kelas satu dan kelas dua mengikuti kegiatan belajar mengajar dari rumah.
Alasan sebagian siswa harus tinggal di seminari karena seminari bukan sekadar sekolah yang mengajarkan ilmu pengetahuan.
“Seminari juga mengajarkan pembelajaran mengenai hidup. Perilaku hidup. Latihan doa. Itu yang tidak bisa secara online. Bukan hanya pembelajaran secara akademis. Tetapi juga ada pembelajaran akhlak, kepribadian,” jelas Rektor Seminari Menengah Wacana Bhakti Romo Adrianus Andy Gunardi Pr.
Tujuan siswa kelas nol harus tinggal di seminari agar mereka mendapatkan irama hidup seminari. Sementara untuk kelas tiga harus memutuskan apakah ingin menjadi pastor tarekat atau diosesan. Untuk itu mereka perlu dibina secara intensif.
Langkah Persiapan Seminari ‘Menyambut’ Siswanya
Pandemi Covid-19 mendorong Seminari Menengah Wacana Bhakti disiplin menjalankan protokol kesehatan. Terutama untuk pendidikan di seminari. Untuk itu, mereka membentuk Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dan memberlakukan sejumlah protokol. Kapasitas seminari dikurangi. Hanya terisi 50 persen demi menjaga jarak fisik. Pendidikan di dalam seminari juga diprioritaskan khusus bagi kelas nol dan kelas tiga. Seluruh kompleks seminari didisinfektan sebelum para seminaris masuk.
Ada penjelasan sebelumnya lewat Zoom antara pihak seminari dengan orang tua. Orang tua hanya boleh mengantar sampai depan pintu gerbang. Hanya para siswa yang diperbolehkan memasuki kompleks.
“Kami komunikasikan dengan orang tua apa yang akan terjadi nanti kalau para seminaris masuk. Kami sudah sosialisasi dan orang tua memahami situasi Covid-19 ini,” terang Rektor Seminari Menengah Wacana Bhakti Romo Adrianus Andy Gunardi Pr.
Para seminaris masuk kompleks dalam dua gelombang. Gelombang pertama untuk kelas nol pada bulan Juli. Gelombang kedua untuk kelas tiga pada bulan Agustus.
Para seminaris yang masuk kompleks seminari menjalani karantina selama dua minggu. Satu kamar untuk satu orang. Mereka tidak boleh keluar kamar dan makanannya diantar ke kamar mereka.
Mereka juga menjalani screening kesehatan. Salah satunya rapid test. Rapid test dilakukan dua kali. Pertama, saat masih berada di rumah. Kedua, saat tiba di seminari. Jika hasil rapid test non-reaktif para seminaris harus tetap menjalani karantina.
“Kalau ada yang reaktif berarti tidak boleh masuk seminari. Tetapi kemarin sudah kita lakukan dan semua non-reaktif,” katanya.
Semua karyawan dan staf di seminari juga sudah menjalani rapid test.
Tenaga kesehatan seperti dokter dan suster selalu bersiaga jika ada yang siswa yang sakit atau mengalami gejala terkait Covid-19. Pihak seminari juga bekerja sama dengan Rumah Sakit Carolus.
Adaptasi Kebiasaan Baru di Seminari
Para siswa kini sehari-hari harus beradaptasi dengan kebiasaan baru. Yaitu menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak fisik. Mereka akan ditegur jika tidak menjalankan kebiasaan ini. Jenis olahraga pun hanya boleh yang bersifat mandiri, seperti berlari.
Selain itu ada plakat edukasi tertempel tentang cuci tangan menggunakan standar WHO. Tempat-tempat cuci tangan juga disediakan beserta sabunnya.
Seminari didisinfektan setiap 10 hari sebagai langkah pencegahan. Lalu pemeriksaan suhu badan dengan thermo gun.
Para seminaris juga dilarang keluar kompleks dengan alasan apa pun. Kegiatan jalan-jalan untuk sementara ditiadakan saat pandemi Covid-19 ini.
“Kalau seminaris memiliki kebutuhan akan suatu barang maka mereka memberitahukan dan akan dicatat. Nantinya yang membelikan para frater,” kata staf seminari Romo Joseph Biondi Mattovano Pr.
Komunikasi antara pihak seminari dengan para orang tua seminaris berlangsung intens. Biasanya lewat Zoom.
Para orang tua juga dapat mengikuti ibadah daring. Sekaligus memantau kondisi puteranya. Lalu kalau ada seminaris yang sakit maka orang tuanya akan diinformasikan segera.
“Misalnya ada yang sakit usus buntu tadi pagi ini. Mau operasi. Kami informasikan orang tuanya,” kata Romo Adrianus Andy Gunardi Pr.
Di Bawah Bayangan Pandemi
Protokol kesehatan dijalankan sebagai upaya pengendalian penyebaran Covid-19. Adaptasi kebiasaan baru dilakukan. Tetapi di sisi lain, informasi peningkatan kasus Covid-19 menorehkan rasa cemas pada diri seminaris dan orang tuanya.
Saat cemas Brilian memilih menenangkan diri dengan bermain alat musik atau chatting dengan kawannya. “Kadang kalau cemas sekali, saya doa.”
Orang tua Brilian, Dolly Silviana, juga bercerita bahwa orang-orang terdekatnya sudah tiada karena Covid-19.
Ia berupaya menjalankan protokol kesehatan. Namun tetap merasa cemas. Untuk mengatasi kecemasannya, Dolly membawa semuanya dalam doa.
“Mau apa lagi? Saya katakan umur di tangan Tuhan. Tetapi saya dikasih hikmat. Ya, saya menjalankan sesuai hikmat yang diberikan. Saya menjaga kesehatan saya. Mengikuti protokol kesehatan. Semua di tangan-Nya,” kata Dolly.
Romo Joseph Biondi Mattovano Pr selaku pendamping atau pamong Seminari Menengah Wacana Bhakti tidak menampik adanya rasa cemas yang menghinggapi diri seminaris.
“Karena seminaris zaman sekarang lebih banyak membaca berita. Sekolahnya juga lebih banyak online sehingga update berita itu juga.”
Namun, menurutnya kecemasan ini dapat terlupakan dengan segala kegiatan dan rutinitas di seminari. Penerapan protokol kesehatan juga membantu seseorang tetap merasa nyaman dan aman. Tetapi kalau merasa cemas, seminaris bisa sharing dengan para frater dan para pastor di seminari.
“Sampai saat ini yang cemas sekali sampai sakit puji Tuhan belum ada.”
Romo Joseph Biondi Mattovano Pr juga senantiasa mengajak para seminaris melihat situasi pandemi Covid-19 sebagai peristiwa yang harus dimaknai secara berbeda. Yaitu dengan menjadikannya sebagai pengalaman permenungan untuk menjadi seorang pembimbing umat Katolik.
“Suatu saat nanti bisa berkhotbah banyak tentang pengalaman menghadapi pandemi. Bagaimana perjuangan menjadi seminaris di rumah itu seperti apa? Seminari juga bukan hanya terbatas dengan bangunan, dengan jadwal. Tetapi bagaimana identitas sebagai seminaris itu terinternalisasi dalam diri,” renungnya.
Editor : Sabar Subekti
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...