Deteksi Dini dapat Cegah Gangguan Pendengaran
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Gangguan pendengaran masih menjadi persoalan serius di tataran global yang perlu diantisipasi di Indonesia melalui kesadaran masyarakat untuk deteksi dini, kata seorang pejabat Kementerian Kesehatan.
"Gangguan pendengaran merupakan penyebab tertinggi keempat disabilitas secara global. Dampak yang ditimbulkan mengganggu perkembangan kognitif, psikologi, dan sosial, sehingga kualitas SDM rendah dan terjadi penurunan daya saing di tingkat global," kata Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes Eva Susanti dalam Konferensi Pers Hari Pendengaran Sedunia 2023 yang diikuti dalam jaringan di Jakarta, Rabu (1/3).
World Report On Hearing 2021 melaporkan, sekitar 1,5 miliar penduduk dunia mengalami gangguan pendengaran, sebanyak 430 juta orang di antaranya memerlukan layanan rehabilitasi untuk gangguan pendengaran bilateral yang dialami.
Tanpa penanggulangan yang intensif, kata Eva, diperkirakan sekitar 2,5 miliar penduduk dunia akan mengalami gangguan pendengaran pada 2050. Sekitar 700 orang diperkirakan membutuhkan rehabilitasi dan alat bantu dengar.
Ia mengatakan, hampir 80 persen orang mengalami gangguan pendengaran berada di negara dengan tingkat pendapatan menengah ke bawah.
"Prevalensi global gangguan pendengaran tingkat sedang hingga berat meningkat seiring bertambahnya usia," katanya.
Eva mengatakan, sekitar 60 persen gangguan pendengaran dapat dicegah melalui upaya deteksi dini gangguan pendengaran di sejumlah fasilitas kesehatan.
"Perlu ada deteksi dini dan pelindung alat pendengaran sehingga bila kasus ditemukan lebih dini, masalah pendengaran dapat ditangani sesuai indikasi dan rehabilitasi dengan alat bantu dengar," katanya.
Alat bantu dengar yang dimaksud, salah satunya implan koklea terapi rehabilitatif, yang berbasis eletronik canggih yang ditanamkan ke dalam rongga kepala pasien.
"Koklea merupakan solusi yang dapat memastikan orang dengan gangguan pendengaran dapat memiliki kesempatan memenuhi potensi mereka," katanya.
Pada acara yang sama, Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala Leher Indonesia (PERHATI-KL) Yussy Afriani Dewi mengatakan penyebab utama gangguan dengar di antaranya tuli kongenital, otitis media supuratif kronis atau congek, tuli akibat bising, gangguan dengar pada usia tua, dan serumen.
"Gangguan dengar harus dikenal sedini mungkin, sebab 60 persen disebabkan oleh faktor yang bisa dicegah melalui identifikasi dan skrining pada seluruh tahapan usia," katanya.
Sejumlah tantangan yang masih dihadapi di antaranya, keterbatasan akses informasi yang tepat, stigma yang berkembang di masyarakat, keterbatasan akses masyarakat ke pusat layanan kesehatan, program kesehatan telinga dan pendengaran tidak ada dalam sistem kesehatan nasional.
"Selain itu, ada keterbatasan jumlah dan distribusi SDM, khususnya dokter spesialis THT, audiologis, terapi wicara," katanya.
Yussy menambahkan, upaya yang dapat dilakukan masyarakat dalam mencegah terjadinya gangguan pendengaran, di antaranya pemeriksaan gangguan pendengaran secara berkala, menghindari kebisingan, tidak minum obat dalam jangka panjang tanpa konsultasi dengan dokter, hindari membersihkan telinga sendiri dengan mengorek-ngorek telinga, dan hindari penggunaan earphone dengan volume keras dan waktu lama.
Hari Pendengaran Sedunia diperingati setiap 3 Maret sebagai dukungan komitmen global untuk pencegahan dan eliminasi gangguan pendengaran. Tujuan utamanya meningkatkan kualitas hidup pada orang dengan gangguan pendengaran.
Tema nasional,yang diangkat pada tahun ini adalah Telinga dan Pendengaran Sehat Untuk Semua.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...