Deteksi Gejala Gangguan Mental Anak Akibat Pandemi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokter spesialis kedokteran jiwa dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Anggia Hapsari, menegaskan pentingnya deteksi dini dan mengenali gejala gangguan kesehatan mental pada anak dan remaja di tengah pandemi.
"Kesehatan mental anak-anak dan remaja sangat terdampak oleh pandemi, kesejahteraan mereka harus diprioritaskan, jangan ditunggu hingga menjadi krisis," kata Anggia dalam webinar kesehatan, Selasa (29/6).
Konsultan psikiatri anak dan remaja menuturkan gejala kesehatan mental pada anak yang harus diwaspadai orangtua, seperti mengalami kesulitan tidur dan makan, mimpi buruk, berubah sikap menjadi agresif atau menarik diri.
Anak yang sudah belajar buang air di toilet bisa jadi akan kembali mengompol.
Anak dapat merasa marah atau kesal dan tidak mau bersosialisasi dengan teman-temannya, dia memilih untuk berkomunikasi dengan orang-orang di dunia maya yang tak dikenal ketimbang berbincang secara virtual dengan kawan-kawannya.
Gejala lain yang harus diperhatikan adalah adanya keluhan fisik tanpa penyebab yang jelas, misalnya sakit perut atau pegal-pegal tanpa sebab.
"Anak juga takut sendirian, selalu ingin berada di dekat orang tua dan sangat ketergantungan. Clingy, apa-apa minta diladeni," katanya.
Waspadai bila tiba-tiba anak punya ketakutan baru, seperti mendadak takut kegelapan atau berubah jadi anak yang serba sangat ketakutan, serta kehilangan minat untuk bermain atau mengerjakan hobi yang biasanya dilakukan penuh semangat.
Anak yang mengalami gangguan kesehatan mental biasanya terlihat sedih dan sering menangis lebih dari biasa tanpa alasan jelas.
Perhatikan juga apakah anak menjadi sulit bergabung dengan orang lain dan sulit membedakan mana khayalan dan kenyataan.
Anak yang terdampak batinnya biasanya tidak bisa mengungkapkan banyak emosi. Ketika diajak berkomunikasi oleh orang terdekat, dia hanya merespons seadanya.
Anggia menegaskan, pandemi COVID-19 tak hanya berdampak kepada kesehatan mental orang dewasa, anak-anak dan remaja juga ikut merasakan akibatnya.
Setahun lebih menjalani karantina dengan ruang gerak terbatas, anak yang biasanya bebas bersosialisasi kini hanya bisa bersekolah secara daring dan menjalani hidup yang serba tidak pasti.Anak menjadi tidak berdaya dan merasa kesepian.
"Tapi kesepian ini tidak selalu diekspresikan secara verbal, mereka bilangnya bosan," kata dia.
Faktor lainnya adalah rasa cemas anak atas kesehatan diri sendiri serta keluarga.
Anak-anak dapat merasa ketakutan ketika orangtuanya harus bekerja di luar rumah dan khawatir atas kondisi ibu dan ayahnya, apakah akan pulang dalam keadaan sehat.
Masalah dapat muncul karena rutinitas yang jauh berbeda selama pandemi, perubahan pola asuh hingga masalah sosial ekonomi yang dihadapi keluarga.
"Kekerasan dalam rumah tangga juga jadi masalah selama pandemi," katanya.
Interaksi 24 jam dapat menimbulkan konflik antar pasangan, masalah-masalah yang tadinya bisa disembunyikan di hadapan anak akhirnya jadi kasat mata karena semua orang berada di rumah saja.
Oleh karena itu, orangtua diajak untuk waspada dan memprioritaskan kesejahteraan kesehatan mental buah hati demi menekan risiko dampak negatif yang tak diinginkan, seperti dorongan anak untuk melukai diri sendiri.
Ketika gejala-gejala masalah kesehatan mental sudah timbul, lekas bawa anak kepada ahlinya untuk mendapatkan penanganan yang tepat.
Ditemukan Kuburan Massal di Suriah, Ungkap Mesin Kematian Re...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Seorang jaksa penuntut kejahatan perang internasional mengatakan pada hari...