Di Manakah Tuhan?
Beriman dan Berteologi pada Era Pandemi Covid-19
SATUHARAPAN.COM – Pro-kontra minggu lalu tentang perlukah meliburkan ibadah gereja untuk memutus rantai penularan virus Covid-19, atau apakah gereja bisa dianggap tidak percaya pada kuasa penyelenggaraan ilahi sehingga perlu menutup ibadahnya, adalah bukti betapa momen pandemi ini menuntut kejernihan iman.
Keadaan rohani yang serbakeruh sungguh tidak diinginkan, maka memang diperlukan langkah menjernihkannya. Kita tahu bahwa teologi bertugas untuk hal itu. Maka kini kita didesak agar dalam menghadapi situasi krisis akibat Covid-19 ini, ada kejernihan iman, yang kiranya dilanjutkan dengan karya kemanusiaan demi kesehatan bersama.
Banyak peristiwa dalam sejarah yang telah membuat kita semakin jernih beriman, dan kita bersyukur atas hal itu. Artinya: kita jadi sadar bahwa manusia kerap sedang membenar-benarkan kecenderungan hatinya saja, lalu menyelubunginya dengan iman.
Ambil saja contoh, keyakinan bahwa jabatan imamat itu eksklusif milik laki-laki, misalnya sekarang semakin dianggap isapan jempol patriarki saja. Dan teologi feminis telah membuat orang semakin jernih dalam iman, bahwa Allah tidak berkenan kalau perempuan diperlakukan sebagai kelas dua dalam hidup sehari-hari, apalagi dalam ibadah kepada-Nya.
Namun, tetap saja hidup beriman itu lamban untuk dijernihkan, dengan kata lain teologi terkadang lambat datang dan memberi perspektif agar iman dengan tepat diarahkan. Iman bisa saja kelihatan semata-mata sebagai keyakinan kepada Tuhan, tetapi ternyata keyakinan itu tidak dihayati secara tepat dan terbuka.
Bayangkan keyakinan rasistis dan tertutup yang pernah menjadi cara percaya orang di era apartheid di Afrika Selatan, dan yakin bahwa Tuhan memilih sebagian manusia warna kulit putih sebagai kekasih-Nya dan menganggap orang berkulit hitam sebagai terkutuk. Dengan catatan di atas, betapa kita jadi sadar pentingnya teologi itu: ia menjernihkan dan membuat iman itu diarahkan secara tepat untuk menjawab tantangan nyata masa kini.
Lantas kini, bagaimanakah iman itu agar secara jernih kita arahkan, pada era Covid-19 ini?
Cara Teologi Menjernihkan Iman
Teolog seperti Dorothee Soelle (dalam bukunya Thinking about God, 1990) menguraikan bahwa proses menjernihkan iman itu bukanlah proses yang mudah, sebab kejernihan iman bukan sekadar bahwa yang satu rasional dan yang lain empirik, sementara di seberang sana penuh dengan mental harfiah dan fanatisme. Proses penjernihannya telah melewati serangkaian cara, atau model: ada yang mengira iman akan jernih kalau konsisten dengan Alkitab ataupun ajaran gereja, tetapi ada yang mengira kalau telah ditapis oleh dunia sains yang kita tahu sebagai bagian dari dunia modern ini. Walau Soelle ingin mengatasi kedua pendekatan di atas, dan mengikhtiarkan bahwa makna transformatif imanlah yang akan membuat iman itu jernih dan tidak mengeruhkan kehidupan kita.
Tentu kita tidak bisa terburu-buru menganggap bahwa iman yang konsisten dengan nas Alkitab, atau hanya mengulang apa yang Alkitab pernah katakan, sebagai semata-mata model yang cocok untuk masa lalu saja, apalagi kalau kita sebut ia model teologi yang sudah kedaluwarsa.
Memang kita tidak akan menyelesaikan masalah seperti yang terjadi di Kitab Yunus, yaitu membuang seseorang ke laut agar amuk gelombangnya reda. Kalau ada masalah dengan orang sakit, tentu tidak akan memindahkan penderitanya ke kolam Siloam lagi. Kita tidak akan mengulang tindakan itu; namun kita tidak pula akan membuang keyakinan bahwa masih ada hal-hal yang luar biasa dapat terjadi dalam iman!
Pada sisi lain kita tidak akan pula membersihkan segala macam yang tidak umum dalam sains sebagai mitos, lalu hanya bisa percaya pada Tuhan yang bekerja selama karya-Nya memenuhi syarat-syarat ilmu kedokteran.
Dengan kata lain kita tidak pula akan menghakimi kegiatan iman yang tampak tak modern sebagai aktifitas klenik. Iman kita selaku manusia modern ini tidak sama persis dengan sikap ilmiah. Orang yang secara mendalam melakukan kritik atas cara berpikir iman, atau cara berpikir metafisis, seperti filsuf Habermas, bahkan mengingatkan bahwa memang betul realitas nyata tidak bisa lagi dijelaskan oleh satu sebab metafisis; bahwa yang membuat seseorang tertular Covod-19 bukanlah karena faktor ”dosa”, namun pastilah karena serangkaian faktor-faktor nyata di sekitar hidupnya. Namun penjelasan ilmiah itu tidak bisa menggantikan realitas Tak Terperi yang senantiasa datang di tengah kehidupan sehari-hari sekalipun. Selalu kita akan tertantang secara kognitif, demikian kata Habermas, bahwa realitas Tak Terperi itu datang ke tengah hidup.
Tuhan di Antara Covid 19
Dengan demikian kita jadi sadar bahwa yang disebut iman yang dengan jernih diarahkan, yang lalu mengandung orientasi ilahi di dalamnya, bukanlah hal sepele. Dari uraian di atas setidaknya kita bisa mulai jelas: doa yang dinaikkan orang beriman itu perlulah tetap menggemakan harapan alkitabiah, dalam arti kita yang berdoa adalah kita yang juga sedang dalam proses merealisasikan doa tersebut. Orang beriman disebut tidak takut bukan dengan cara mentang-mentang, tetapi kala ia menghadapi ancaman, ia mengatasinya selaku orang percaya.
Inilah model beriman yang alkitabiah yang tetap berharga yang kita warisi tersebut. Dengan model ini kita akan menemukan makna transformatif iman yang jernih tadi. Dengan kata lain Nama Tuhan tidak dilihat sebagai mantra dalam menghadapi berbagai keadaan yang rumit, tetapi Nama Tuhan adalah harapan yang dipegang dalam setiap perjuangan, agar masing-masing kita menemukan makna dan kuasa Nama tersebut.
Kalau disimpulkan: Di manakah Tuhan di tengah keadaan pandemi hari-hari ini? Mungkin untuk makin menjernihkan jawabnya kita bisa belajar dari Yesus Orang Nazaret. Dalam perjalanan-Nya yang dicatat dalam Kitab Matius pasal 14, Yesus sesungguhnya ingin menyingkirkan diri-Nya dengan perahu, agar mendapat rehat dan suasana hening. Namun orang-orang begitu banyak mengikuti-Nya, dan terlebih yang sakit ingin sekali disembuhkan.
Menurut Dominic Crossan & Jonatan Reed, [dalam catatan di buku mereka Excavating Jesus (2001)] di era Yesus, demam yang berat dan gigi yang terinfeksi saja sudah cukup untuk mengancam nyawa. Sehingga memang kita lihat betapa bergelimpangannya orang-orang yang sakit di antara Yesus. Konteks Yesus ialah juga serbapandemiknya kehidupan dengan berbagai bakteri dan virus.
Di tengah ini semua Yesus memberi arah iman yang menjernihkan, dengan menempuh arah itu sendiri, ”maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan” (Mat. 14:14). Yesus menunjuk kepada kita sejernih-jernihnya iman ialah dengan menggerakkan diri untuk kesehatan diri dan sesama.
Iman yang tepat dan jernih pada era pandemik ialah iman yang hadir di setiap ikhtiar atau upaya sesederhana apa pun demi merawat kehidupan. Bahkan dengan cara inilah Tuhan semakin kita temui, dan dengan cara inilah juga Tuhan tampak bekerja.
Mungkin soal-soal teodise akan terus tak terjawab, tetapi arah menemukan kehadiran dan misteri kasih-setia-Nya telah secara tepat kita tempuh.
Martin Lukito Sinaga (dosen luar-biasa pada STFT Jakarta dan STF Driyarkara)
Editor : Yoel M Indrasmoro
Beijing Buka Dua Mausoleum Kaisar Dinasti Ming untuk Umum
BEIJING, SATUHARAPAN.COM - Dua mausoleum kaisar di Beijing baru-baru ini dibuka untuk umum, sehingga...