Di Papua Malaikat Maut Itu Seperti Air Sungai
SATUHARAPAN.COM - Kematian di Asmat akibat gizi buruk dan campak bagi orang di luar Papua itu seperti satu tamparan. Satu tamparan yang menyadarkan bahwa ada soal besar di Papua. Setelah dininabobokan oleh kebanggaan akan Jokowi sebagai Presiden Indonesia yang pertama dengan perhatian besar untuk pembangunan Papua, kasus Asmat muncul sebagai keanehan.
Banyak pertanyaan yang muncul seiring mencuatnya kasus Asmat. Mengapa saat zaman presiden sebelumnya tak terdengar kasus-kasus serupa? Bukankah Presiden sekarang sangat memperhatikan pembangunan di Papua? Mengapa saat negara sedang berjuang membangun Papua, kasus seperti ini baru muncul, jangan sampai ini dipolitisasi?
Pertanyaan seperti itu muncul karena kekaguman terhadap Presiden saat ini. Berbagai berita tentang pembangunan di Papua membuat munculnya kasus Asmat sebagai suatu keanehan yang sulit diterima. Namun, bagi orang Papua kasus Asmat itu tidak ada keistimewannya. Sudah terlalu banyak kasus serupa di Papua. Bahkan kematian di Papua sudah seperti air sungai yang tak hentinya mengalir. Kematian di Papua terus saja terjadi setiap waktu.
Menjelajahi kampung-kampung di Papua berarti juga menjelajahi sungai-sungai kematian. Di wilayah Pegunungan Tengah Papua misalnya, kita hanya cukup menyaksikan beberapa hari di setiap kampung untuk tahu bagaimana kematian itu selalu terjadi. Di kampung-kampung tempat masyarakat asli Papua hidup, jarang ada layanan kesehatan. Gedung puskesmas bisa jadi ada di distrik-distrik, namun tidak dengan petugasnya. Jangan heran jika banyak anak yang tak pernah diimunisasi. Atau tak perlu heran lagi jika orang bisa meninggal karena sakit yang sangat mudah disembuhkan pada zaman serba canggih ini.
"Kami dulu tidak pernah alami sakit-sakit seperti sekarang, dulu kami hanya alami gatal-gatal, batuk atau luka. Sekarang makin banyak orang datang, makin banyak penyakit juga" demikian saya berulang kali mendengar keluhan masyarakat di kampung-kampung ketika diajak bicara.
Keluhan seperti ini memang perlu dibuktikan. Saya teringat akan sebuah diskusi pada awal Februari 2017 lalu di Arso Kabupaten Keerom. Dokter Grace Daimboa mengungkapkan bahwa orang Papua memiliki DNA yang unik yang sesuai dengan makanan pokoknya selama ratusan tahun. Namun perubahan makanan justru membahayakan.
“Orang Papua itu adalah manusia yang unik dan terbatas, akan tetapi saat ini badai sedang menghantui kita. Ada banyak ancaman kepunahan orang Papua, salah satunya adalah semakin banyaknya penyakit menular maupun tidak menular namun berbahaya yang diderita oleh orang Papua.” Demikian dikatakan oleh dr. Grace Daimboa mengutip perkataan seorang professor dari Jepang yang meneliti tentang DNA orang Papua pada tahun 2010 lalu.
“Dalam penelitian oleh dokter-dokter ahli dari Jepang tentang Genetic Starvation orang Papua dengan sampel suku di Serui dan suku Dani, ditemukan bahwa tubuh orang Papua sudah mengalami metabolism sindrom. Ini mengejutkan karena dalam penelitian itu ditemukan bahwa dalam usia muda orang Papua sudah terkena metabolism sindrom. Tanda metabolism sindrom itu adalah gemuk, yaitu perut besar, paha besar dan pantat besar. Ternyata hal ini disebabkan oleh diet atau pola makan yang salah. Pankreas yang sudah terbiasa mengolah makanan seperti sagu dan petatas, kini dipaksa untuk mengolah nasi yang mengandung gula tinggi. Sagu itu kadar gulanya rendah sedangkan petatas mengadung gula sedikit sehingga ketika makan nasi, pankreas orang Papua kaget dan tidak mampu mengolah makanan yang masuk dengan baik.” Tambah dr. Grace yang menjadi pemimpin tim penelitian tersebut.
Perubahan pola hidup itu tidak muncul dengan sendirinya. Pembangunan yang tidak memperhatikan aspek kearifan lokal menyumbang masalah bagi masyarakat. Selama beratusan tahun orang Papua terbiasa makan Sagu dan Ubi, kini berubah dengan program Raskin. Sagu dan Ubi menuntut kerja keras masyarakat sehingga membentuk tubuh orang Papua yang sehat dan berisi. Masuknya Raskin ke Papua disertai dengan kemudahannya membuat masyarakat pun tak perlu banyak bekerja. Alhasil kebun yang dulunya penuh sumber makanan kini mulai terbengkalai dan ubi atau sagu mulai dianggap sebagai makanan tambahan.
Pergeseran ini diperparah oleh pencaplokan lahan masyarakat untuk perusahaan sawit, perusahaan tambang atau program pencetakan jutaan sawah. Belum lagi hutan-hutan tempat masyarakat berburu pun dihancurkan dengan pembalakan baik legal maupun ilegal. Sungai-sungai tempat masyarakat mengambil ikan dan udang sebagai sumber protein pun tercemar oleh aktivitas tambang.
Kini pembukaan akses membawa pula banyak orang luar masuk ke wilayah - wilayah Papua yang selama ini masih terlindungi dari pengaruh negatif dari luar. Bersamaan dengan kehadiran orang-orang baru itu, produk-produk serba instan seperti Mie atau biskuit dan minuman soft drink pun menjadi santapan anak-anak Papua. Terjadi lompatan dari pangan lokal yang organik pada raskin dan makanan instan lainnya.
Lompatan ini terjadi begitu cepat dan sangat jauh ke depan. Sementara masyarakat asli Papua tidak didukung dengan pendidikan yang baik, tawaran makanan serba instan itu jadi santapan yang lebih menarik daripada pangan lokalnya. Bukan rahasia lagi kalau pendidikan dasar di banyak tempat di Papua masih menjadi angan-angan. Gedung dan fasilitas bisa ada, namun guru adalah sesuatu yang langka dan sulit ditemukan.
Kenyataan ini menjadi paradoks di tengah semangat membangun infrastruktur di Papua yang digalakan Jokowi. Banyak tempat yang tidak ada atau kekurangan tenaga kesehatan dan guru bukanlah tempat-tempat yang tak ada akses dan fasilitasnya. Ada sekolah atau puskesmas yang ada akses jalan namun tidak ada tenaga yang melayani di sana. Logika bahwa jika ada akses yang mudah membuat pelayanan kesehatan dan pendidikan bisa berjalan pun menjadi tak selalu benar.
Akses yang ada akhirnya menjadi akses bagi masuknya makanan serba instan dan beebagai efek negatif lainnya dan bukan akses bagi lancarnya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Akibatnya masyarakat yang belum siap itu dihadapkan pada suatu tawaran menggoda dengan ancaman terselubung dibaliknya. Selain itu, terbukanya akses ke berbagai wilayah di Papua pun membawa para penambang mineral atau pencari kayu berkualitas di Papua semakin mudah. Kasus penambangan emas liar di dekat jalan baru yang menghubungkan Yahukimo dan Pegunungan Bintang adalah satu contoh yang sudah terungkap.
Lompatan ini adalah ancaman serius bagi masyarakat Papua. Tanpa pendidikan yang baik, gempuran tawaran berbagai jenis makanan instan dari luar yang tidak sesuai dengan DNA orang Papua adalah awal dari bencana kemanusiaan dengan kematian yang terus terjadi. Lompatan itu terlalu cepat dan adalah bencana massif penyakit dan kematian yang terjadi secara perlahan hingga sering sulit disadari.
Saat acara bedah buku Papua Di Ambang Kehancuran tahun lalu, dokter Indra yang telah lama bekerja di Papua mengungkapkan bahwa masyarakat mesti disiapkan secara baik sebelum membuka akses bagi dan kepada dunia luar. Fakta bahwa beratus ratus tahun masyarakat pedalaman bisa hidup dengan baik walaupun tertutup bagi dunia luar adalah kenyataan yang tak boleh diremehkan.
Karena itu dr. Indra berharap agar akses ke pedalaman hanya dibuka jika masyarakatnya telah disiapkan dengan pendidikan yang baik. Artinya manusialah yang utama harus diperhatikan. Pendidikan yang baik yang memampukan masyarakat bertahan terhadap gempuran pengaruh dari luar adalah hal utama sebelum akses dibuka. Selain itu, perlindungan kesehatan bagi Orang Asli Papua harus menjadi prioritas sebelum akses dibuka. Perlindungan kesehatan yang dimaksud adalah perlindungan kesehatan dasar dengan imunisasi. Ini sangat penting sebagai bentuk perlindungan bagi generasi emas Papua.
Ini menjadi dilema. Presiden Jokowi sendiri mendahulukan pembukaan akses daripada menyiapkan Sumber Daya Manusia. Alasan yang sering dikemukakan adalah agar memudahkan masyarakat mengakses layanan dan menurunkan disparitas harga barang. Ini seperti menjawab pertanyaan apakah telur atau ayam duluan. Apakah akses atau SDM yang mesti didahului? Tanpa akses, tenaga kesehatan atau pendidikan sulit menjangkau daerah terpencil. Akibatnya tidak ada petugas kesehatan di puskesmas yang jauh dari kota. Demikian pula halnya dengan sekolah-sekolah yang tidak aktif karena tak ada guru.
Namun, kenyataan seringkali berbicara lain. Akses yang mudah tidak menjamin adanya ketersediaan layanan seperti yang dibayangkan. Fakta ada banyak daerah di Papua yang mudah diakses namun tidak ada pelayanan adalah hal yang patut direnungkan bersama. Demikian pun sebaliknya ada tempat yang sangat terpencil tetapi ada petugas yang bersedia melayani kesehatan dan pendidikan masyarakat adalah kisah-kisah yang membuat semakin tidak linearnya akses dan ketersediaan layanan.
Dalam sejarah di Papua, ada cukup banyak dokter, perawat atau guru yang mengabdi di pedalaman dan melakukan pendekatan luar biasa dengan masyarakat. Saat itu akses bukanlah alasan yang bisa membatasi pelayanan. Bahkan jika dibandingkan dengan kondisi sekarang ini, uang yang diperoleh para dokter, perawat atau guru pada waktu lalu tidak ada artinya dengan saat ini. Namun itu semuat tidak menjadi alasan untuk tidak melayani di kampung-kampung yang jauh dan terpencil.
Papua pun punya sejarah akan kegigihan para guru yang bertahan hidup di kampung-kampung terpencil untuk mengajar anak-anak di sana. Masyarakat Papua masih selalu menceritakan kenangan akan guru-guru tersebut. Guru-guru itu adalah orang-orang Paniai. Dari cerita masyarakat di Samenage misalnya, guru-guru Paniai bersedia tinggal di Samenage sampai bertahun-tahun untuk mengabdi. Mereka bahkan jarang pulang atau ke kota. Padahal Samenage yang terletak di Kabupaten Yahukimo itu adalah satu distrik yang sangat terpencil dan hanya bisa diakses dengan pesawat kecil charteran sebesar Sepuluh Juta Rupiah sekali terbang. Akses lain adalah berjalan kaki menembusi hutan dan gunung selama minimal dua hari.
Pengalaman akan kegigihan para dokter, perawat atau guru Paniai bisa menjadi pelajaran berharga untuk membangun SDM di daerah terpencil. Tentu dengan berbagai kemudahan saat ini membuat kegigihan seperti mereka itu mendapat tantangan besar. Namun tidak ada salahnya untuk menggali kegigihan itu sehingga bisa menjadi pelajaran yang berharga untuk dilakukan lagi.
Florianus Geong bekerja dan tinggal di Papua
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...