Di Peshawar, Sekolah Jadi Medan Pertempuran
PESHAWAR, SATUHARAPAN.COM - “Semua teman-teman saya terbaring luka dan meninggal di sekeliling saya.”
Ini bukanlah pengakuan dari seorang prajurit atau tentara yang tengah bertarung dalam perang dalam membela negaranya, melainkan kalimat tersebut keluar dari mulut seorang anak laki-laki berusia 15 tahun yang tengah terbaring di tempat tidur rumah sakit di Peshawar, Pakistan setelah militan Taliban menyerang sekolahnya, seperti dikutip dari CNN, Selasa, (16/12).
Aksi pembantaian Taliban ini sangat kejam dan berani sehingga menarik banyak perhatian dunia. Serangan Peshawar tersebut bukanlah yang pertama terjadi, bahkan serangan ini lebih besar dan mengerikan daripada pembantaian sebelumnya.
"Pada tahun 2013, terjadi 78 serangan terhadap sekolah, guru dan siswa yang telah dilaporkan PBB di Pakistan," menurut catatan berita dari wakil khusus PBB untuk anak-anak
Pada Selasa, (16/12) pagi, kecaman pun berdatangan, termasuk dari pemenang hadiah nobel perdamaian yang pernah mengalami kekerasan berdarah yang dilakukan oleh Taliban.
“Saya mengutuk tindakan kejam dan pengecut ini,” kata pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, Malala Yousafzai dalam sebuah pernyataan. Dua tahun lalu tepatnya pada tahun 2012, remaja asal Pakistan ini ditembak di kepala dengan jarak dekat oleh Taliban akibat aksinya yang mengkampanyekan pendidikan anak perempuan di Lembah Swat, di Provinsi Khyber Pakhtunkhwa. Ibukota provinsi ini adalah Peshawar, tempat penyerangan sekolah pada Selasa, (16/12).
Ini bukanlah tindak kekerasan yang baru, bahkan konflik bersenjata ini semakin membuat anak-anak berada di depan lini peperangan.
Dalam sebuah wawancara yang menyedihkan, seorang gadis bernama Margaret menceritakan pengalamannya yang pernah diculik dari sekolah di Uganda Utara pada 2004. Di usia 14 tahun, dia diculik oleh tentara pasukan Joseph Kony dan dijadikan budak seks dan mengandung anak-anak tentara itu. Dia adalah salah satu anak-anak yang dipaksa menjadi tentara dan budak oleh Tentara Perlawanan Tuhan pimpinan Joseph Kony.
Ketika sekolah menjadi medan pertempuran, upaya untuk melindungi sekolah pun semakin mendesak. Pendidikan adalah salah satu senjata paling mematikan dalam peperangan melawan stabilitas dan keamanan global.
Pakar ekonomi pemenang Hadiah Nobel, Amartya Sen, menulis bahwa tidak ada rute jalan paling jelas ke arah pembangunan ekonomi dan perdamaian kecuali pendidikan.
Pada tahun 2011, 57 juta anak tidak bersekolah, setengah dari jumlah ini tinggal di negara-negara konflik. Fakta ini seharusnya meresahkan semua pihak yang menginginkan dunia yang stabil, damai dan aman. Akan tetapi saat ini pun, jutaan pengungsi anak-anak di Suriah tetap tidak mendapat kesempatan untuk bersekolah. (cnn.com)
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...