Loading...
RELIGI
Penulis: Sabar Subekti 12:36 WIB | Selasa, 24 Desember 2024

Di Reruntuhan Gereja Yang Dibom di Lebanon, Ada Pohon Natal Mungil

Di Reruntuhan Gereja Yang Dibom di Lebanon, Ada Pohon Natal Mungil
Georges Elia menghias pohon Natal di dalam Gereja Katolik St. George Melkit, yang dihancurkan oleh serangan udara Israel, di kota Dardghaya di Lebanon selatan, hari Minggu, 22 Desember 2024. (Foto-foto: AP/Hassan Ammar)
Di Reruntuhan Gereja Yang Dibom di Lebanon, Ada Pohon Natal Mungil
Sebuah masjid terlihat dari Gereja Katolik St. George Melkit, yang dihancurkan oleh serangan udara Israel, di kota Dardghaya di Lebanon selatan, hari Minggu, 22 Desember 2024.

DARDGHAYA-LEBANON, SATUHARAPAN.COM-Sebuah pohon Natal berdiri di antara batu-batu yang tumbang dari sisa-sisa Gereja Katolik St. George Melkite di Lebanon selatan. Dulunya merupakan pusat komunitas yang ramai, gereja abad ke-18 ini hancur setelah serangan udara Israel pada bulan Oktober.

Georges Elia, seorang pekerja kota dan jemaat gereja berusia 40 tahun, mengambil inisiatif untuk membawa suasana normal menjelang musim liburan, beberapa minggu setelah gencatan senjata yang rapuh antara Israel dan militan Hizbullah di Lebanon.

“Tahun ini, Natal datang dengan kesedihan bagi kami, tetapi kami tidak ingin itu menjadi hari yang menyedihkan bagi penduduk kota dan gerejanya,” kata Elia. “Kami mencoba mendirikan pohon, meskipun itu pohon yang sederhana dan bersahaja.”

Itu pohon kecil, lebih pendek darinya. Dia membungkuk untuk meletakkan karangan bunga yang berkilau dan bintang terakhir. Lampu kristal tergantung, masih utuh, di atas bangku-bangku gereja yang hancur. Gambar kertas Sinterklas berserakan di atas puing-puing.

Pohon Natal tidak memiliki lampu, karena perang telah menghancurkan kabel listrik. Pohon itu juga tidak memiliki adegan Kelahiran Yesus tradisional, karena dapat runtuh di tanah yang tidak rata.

"Tetapi, tentu saja, Kristus lahir di hati kita, diterangi oleh cinta kita kepadanya," kata Elia.

Gereja itu diserang ketika Israel membombardir Lebanon selatan dan mengirim pasukan darat, mengubah apa yang tadinya merupakan konflik intensitas rendah dengan baku tembak hampir setiap hari menjadi perang habis-habisan.

Hizbullah mengatakan pihaknya menyerang sebagai bentuk solidaritas dengan warga Palestina di Gaza, sementara Israel mengatakan pihaknya menginginkan daerah perbatasan yang aman sehingga warga dapat kembali ke rumah.

Elia, keluarganya, dan seluruh masyarakat meninggalkan rumah mereka setelah menerima perintah evakuasi pada tanggal 23 September, bergabung dengan ratusan ribu orang yang mengungsi di Lebanon.

Gereja itu melayani sekitar 30 keluarga. Serangan udara itu menandai ketiga kalinya gereja itu dirusak oleh pasukan Israel selama bertahun-tahun.

"Dalam invasi Israel tahun 1978, kami kehilangan tembok barat gereja. Kamar-kamar hunian itu terkena serangan udara Israel pada tahun 1992,” kata pendeta, Pastor Maurice el Khoury.

Ketika Elia kembali beberapa pekan kemudian, ia mendapati kerusakan lebih parah dari yang dibayangkannya. “Foto-foto itu tidak menunjukkan seberapa parah sebenarnya,” katanya.

Pendeta yang telah melayani gereja itu selama 11 tahun itu mengingat kembali momen ketika ia melihat kehancurannya.

“Tekanan darah saya naik. Saya kehilangan keseimbangan dan harus bersandar ke dinding,” katanya. “Bagi saya, melihatnya seperti ini, saya tidak dapat memahaminya.”

Kerugian finansial akibat kerusakan itu juga mengejutkan. El Khoury memperkirakan biaya restorasi hampir US$3 juta.

Kehancuran gereja itu merupakan bagian dari kehancuran akibat perang di Lebanon. Bank Dunia mengatakan hampir 100.000 rumah di seluruh negeri itu telah hancur sebagian atau seluruhnya selama perang selama 14 bulan, dengan kerusakan diperkirakan mencapai US$3,2 miliar.

Karena bangunan gereja utama masih berupa puing-puing, el Khoury sekarang memimpin Misa Minggu di sebuah ruangan bawah tanah kecil yang dulunya digunakan untuk tempat tinggal para uskup dan pendeta yang berkunjung, sambil membaca dengan bantuan cahaya dari telepon genggam. Ruangan itu, meskipun rusak, telah diperbaiki untuk dijadikan tempat ibadah sementara.

Dalam salah satu Misa, pendeta mengingatkan keluarga-keluarga tentang hakikat sejati musim liburan. “Ruangan ini lebih mirip gua tempat Yesus dilahirkan,” katanya. “Kami adalah umat yang mewujudkan kelahiran Kristus dalam realitas kami.”

Pendeta itu mengatakan iman jemaat tidak goyah: “Untuk Natal mendatang, kami akan mengadakan Misa di sini.” (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home