Dialog Dua Buku Tentang Hak Masyarakat Adat
BOGOR, SATUHARAPAN.COM – Hukum adalah produk beragam kepentingan politik sehingga tidak dapat disangkal kalau hukum itu memihak. Kalau negara berpihak pada yang kuat saja berarti negara mengkhianati konstitusi sehinga terjadi penyangkalan. Penyangkalan itu terjadi atas hak-hak agraria penduduk yang melahirkan regulasi berorientasi kapitalistik.
Hal itu disampaikan mantan hakim Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki dialog buku ‘Orang Indonesia dan Tanahnya’ karya Cornelis van Volenhoven dan ‘Politik Hukum Agraria’ karya Achmad Sodiki di Bogor pada hari Sabtu (19/10).
Buku ‘Politik Hukum Agraria’ yang diterbitkan pada bulan Juni 2013 merupakan buku yang relevan dengan konteks perjuangan hak-hak masyarakat adat. Terutama pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menetapkan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara.
“Masalahnya bukan semata-mata hutan adat, namun harus dilihat secara holistik, di mana kesadaran politik dan peningkatan kesejahteraan akan memberi kesadaran mengenai hak-hak masyarakat hukum adat yang masih tersisihkan,” kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu.
Lanjutnya, “Hukum adat mungkin tidak mengandung kepastian, tapi mengandung keadilan. Lebih baik memilih hukum yang mengandung keadilan daripada mengandung kepastian, namun tidak adil. Undang-undang di Indonesia seperti itu, tanpa keadilan. Inilah makna keadilan dalam hukum yang kita perjuangkan selama ini.”
Politik Agraria Jaman Kolonial
Buku ‘Orang Indonesia dan Tanahnya’ atau yang berjudul asli ‘De Indonesiër en Zijn Grond’ karya sarjana hukum dan antropolog Belanda Cornelis van Volenhoven merupakan naskah akademik yang lahir pada tahun 1919. Buku ini diterjemahkan dan diterbitkan ulang STPN Press, Perkumpulan Huma, dan Penerbit Tanah Air Beta dari Sajogyo Institute pada tahun 2013.
Buku ini pada mulanya pamflet yang bertujuan menjegal usulan amandemen pasal 62 Regeringsreglement (UUD Hindia Belanda) 1854. Amandemen itu berakibat pada penghapusan perlindungan hak-hak atas tanah masyarakat adat, khususnya yang berada di luar Jawa dan Madura.
“Naskah ini berhasil menghentikan upaya amandemen Undang-Undang Dasar Hindia Belanda pasal 62. Buku ini juga menunjukkan bagaimana politik agraria kolonial bekerja saat itu,” kata Direktur Eksekutif Sajogyo Institute Noer Fauzi Rachman.
Menurut Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria ini, buku ini telah menunjukkan bahwa perjuangan masyarakat adat dan perjuangan agraria tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan republik ini. “Menghargai hak-hak agraria, berarti menyelamatkan Indonesia,” tegasnya.
Noer Fauzi Rachman menjelaskan bahwa penindasan dan pemburuan masyarakat adat merupakan salah satu bagian politik agraria kolonial. Padahal hak yang dimiliki masyarakat adat atas tanahnya adalah hak bawaan yang diwariskan secara turun-temurun, sedangkan kewenangan yang ada di perusahaan-perusahaan adalah hak berian dari pemerintah pusat.
“Tanah di Indonesia ini, sebenarnya tanah milik siapa?” merupakan pertanyaan dasar dalam politik agraria kolonial yang diajukan Noer Fauzi Rachman. Pertanyaan itu melahirkan beragam bentuk-bentuk penguasaan lahan oleh kepentingan kolonial yang merugikan kepentingan rakyat nusantara.
Buku ‘Orang Indonesia dan Tanahnya’ karya Cornelis van Volenhoven dan ‘Politik Hukum Agraria’ karya Achmad Sodiki menurut Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan berbicara tentang nusantara dan perjuangan masyarakat adatnya dalam membebaskan nusantara dari pelbagai penindasan. Baik di masa lalu, masa kini, maupun masa depan.
Dialog buku ini terselenggara atas kerja sama AMAN dan Sajogyo Institute.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...