HAM
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja
22:58 WIB | Kamis, 15 Mei 2014
Dianggap Murtad, Perempuan Sudan Divonis Hukuman Gantung
KHARTOUM, SATUHARAPAN.COM - Sebuah pengadilan di Sudan menjatuhkan hukuman mati dengan digantung pada seorang perempuan karena murtad setelah perempuan itu dianggap pindah agama dari Islam ke Kristen karena menikah dengan seorang pria Kristen.
"Kami memberimu tiga hari untuk menarik kembali, tetapi jika anda bersikeras untuk tidak kembali ke Islam, saya menjatuhkan hukuman digantung sampai mati," kata hakim pada perempuan itu, AFP melaporkan.
Amnesty International sebuah kelompok hak asasi manusia mengecam hukuman tersebut sebagai "mengerikan dan menjijikkan".
Media lokal melaporkan eksekusi belum akan dilaksanakan selama dua tahun ke depan, menunggu setelah ia melahirkan.
Penduduk Sudan mayoritas Muslim, yang diatur dalam hukum Islam. Aturan bahwa kemurtadan -meninggalkan keyakinan agama- adalah kejahatan.
Kedutaan dan kelompok hak asasi Barat telah mendesak Sudan supaya menghormati hak perempuan hamil itu untuk memilih agamanya.
Hakim juga memvonis perempuan itu dengan 100 cambukan karena alasan perzinahan -sebab pernikahannya dengan seorang pria Kristen tidak sah menurut hukum Islam.
Eksekusi kabarnya akan dilakukan ketika dia telah pulih dari melahirkan.
Sebelumnya dalam persidangan, seorang ulama Islam berbicara dengan dia di ruangan tertutup selama sekitar 30 menit, AFP melaporkan.
Lalu perempuan itu dengan tenang mengatakan kepada hakim: "Saya seorang Kristen dan saya tidak pernah murtad."
Amnesty International mengatakan, perempuan itu bernama Meriam Yehya Ibrahim Ishag, dibesarkan sebagai seorang Kristen Ortodoks, agama ibunya, karena ayahnya yang seorang Muslim tidak ikut membesarkannya selama masa kecil.
Di pengadilan, hakim memanggilnya dengan nama Muslimnya, Adraf Al - Hadi Mohammed Abdullah.
Dia dihukum karena perzinahan dengan alasan pernikahannya dengan seorang pria Kristen dari Sudan Selatan adalah larangan di bawah hukum Islam Sudan, yang mengatakan wanita Muslim tidak boleh menikah dengan non - Muslim.
Perempuan itu awalnya dijatuhi hukuman mati pada hari Minggu (11/5) tetapi masih diberi waktu sampai Kamis (15/5) untuk kembali ke Islam.
AFP melaporkan bahwa ada kelompok-kelompok kecil pengunjuk rasa di luar pengadilan -baik pendukung dan mereka yang mendukung hukuman.
Seorang pengamat dari Amnesty International Sudan, Manar Idriss mengecam hukuman tersebut. Dia mengatakan kemurtadan dan perzinahan tidak boleh dianggap kejahatan.
"Fakta bahwa seorang perempuan telah dijatuhi hukuman mati karena pilihan agamanya, dan cambuk akibat menikah dengan seorang pria dari agama yang diduga berbeda adalah mengerikan dan menjijikkan," kata Manar Idriss.
Salah satu pengacaranya mengatakan kepada AFP mereka akan mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi untuk mendapatkan vonis bebas.
Pada Selasa (13/5), kedutaan besar Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Belanda mengeluarkan pernyataan bersama yang menyatakan "keprihatinan mendalam" tentang kasus ini dan mendesak Sudan untuk menghormati hak atas kebebasan beragama, kata AFP.
Kedutaan mendesak otoritas hukum Sudan "untuk melihat kasus ini dengan keadilan dan kasih sayang yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Sudan".
Meriam Yehya Ibrahim Ishag ditangkap dan didakwa dengan perzinahan pada Agustus 2013, dan pengadilan menambahkan tuduhan kemurtadan pada bulan Februari tahun 2014 ketika dia bilang dia seorang Kristen dan bukan Islam, kata Amnesty International Sudan sebuah kelompok yang menyerukan supaya dia dibebaskan.
Meriam Yehya Ibrahim Ishag berusia 27 tahun, menurut Amnesty International Sudan saat ini berada dalam tahanan bersama anaknya berumur 20 bulan dan sedang hamil delapan bulan.
Berbicara kepada kantor berita AFP, Ahmed Bilal Osman, Menteri Informasi Sudan mengatakan: "Ini bukan hanya di Sudan. Di Arab Saudi, di semua negara Muslim itu tidak diperbolehkan sama sekali bagi seorang Muslim untuk pindah agama."(bbc.co.uk/aljazeraa.com)
BERITA TERKAIT
KABAR TERBARU
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...