Dianiaya Karena Kebenaran
Walau menderita, mereka bisa tetap bertahan dan melewati itu. Ini yang disebut kebahagiaan.
SATUHARAPAN.COM – ”Berbahagialah orang yang dianiaya karena melakukan kebenaran, karena merekalah yang punya Kerajaan Surga”(Mat. 5:10). Mereka yang pernah difitnah atau dizalimi karena kebenaran pasti tahu betapa sakit menanggung pengalaman itu. Karenanya, perkataan Tuhan ini sulit dimengerti. Mengapa orang seperti itu disebut berbahagia?
Kerajaan Surga tidak hanya menunjuk pada tempat tertentu (kingdom). Bahkan, di beberapa bagian kitab suci, Kerajaan Surga menunjuk pada suasana atau keadaan (kingship). Suasana yang bagaimana? Suasana ketika seseorang merasakan bahwa hidupnya dikuasai oleh Allah, yang bertakhta di surga.
Jadi bisa terjadi, orang yang hidupnya kekurangan materi bisa merasakan Kerajaan surga. Syaratnya, dalam kemiskinan yang dirasakan, ia benar-benar merasakan pimpinan Tuhan! Sebaliknya bisa terjadi. Ada orang yang berkuasa dan banyak harta, tetapi, karena arogan, tidak mau hidup di bawah kuasa Tuhan, ia tidak merasa perlu untuk hidup dalam Kerajaan Surga.
Dimengerti seperti itu, maka ayat yang kita refleksikan menjadi seperti ini: Berbahagialah orang yang dianiaya karena kebenaran, sebab mereka bisa merasakan pimpinan Tuhan! Mengapa? Sebab orang yang berkata, berpikir, berbuat benar, biasanya tidak disukai orang -orang yang salah dan jahat. Kalau di sekitarnya lebih banyak orang jahat maka orang yang benar bisa dikucilkan, disisihkan, dipojokkan, dikriminalkan, dipenjara, bahkan dianiaya. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada sumber kekuatan lain yang dibutuhkan, selain kekuatan adi kodrati, yaitu Tuhan.
Contohnya: para nabi dalam Kitab Suci. Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr., Dietrich Boenhoefer, Yap Thiam Hien, Meiliana adalah contoh-contoh lainnya. Saya yakin, ketika mereka menderita karena dikucilkan, dikriminalkan, dan dipenjara, mereka semua membutuhkan kekuatan spiritual agar bertahan. Mereka pun mendapatkan itu dari Tuhan. Walau menderita, mereka bisa tetap bertahan dan melewati itu. Ini yang disebut kebahagiaan.
Apa relevansi firman Tuhan ini buat kita? Di tengah kecenderungan dunia yang lebih suka pada kejahatan, kesalahan, maka kita perlu hidup dalam kebenaran. Kita tidak boleh sekadar cari aman dan nyaman. Kita tidak boleh hanya mencari pujian dan menyenangkan orang lain. Kalau itu kita lakukan, Tuhan mengecam: ”Celakalah kamu jika semua orang memuji kamu, karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu"(Luk. 6:26).
Kecaman Tuhan itu membuat saya merenung pagi ini. Kalau saya punya kecenderungan untuk selalu membuat orang senang dan diri saya senang, berarti saya termasuk dalam golongan nabi-nabi palsu.
Editor : Yoel M Indrasmoro
Kekerasan Sektarian di Suriah Tidak Sehebat Yang Dikhawatirk...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penggulingan Bashar al Assad telah memunculkan harapan sementara bahwa war...