Dikotomi Sastra Tak Pengaruhi Produktivitas Dee Berkarya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Beberapa kritikus sastra dalam dunia kesastraan Indonesia beranggapan karya-karya penulis Dewi Lestari (Dee) masuk dalam genre abu-abu atau genre ambang, yakni genre yang berada antara karya sastra serius dan karya populer.
Tak menampik anggapan itu, Dee pun mengakui posisinya sebagai penulis memang berada dalam genre tersebut.
“Sejujurnya, saya tidak menyengajakannya juga,” kata Dee saat dihubungi satuharapan.com pada Kamis (15/1) pagi.
Dikotomi karya sastra dan karya pop, menurut Dee adalah hal yang tidak menjadi pertimbangannya dalam proses berkarya dan melahirkan sebuah karya. Pemikiran itu pun tak memengaruhi produktivitasnya dalam berkarya. Sebagai penulis, Dee mengaku lebih tertarik pada persoalan membangun cerita dan cara bercerita.
“Mungkin, pendekatan saya demikian karena begitu jugalah ekspektasi saya terhadap sebuah buku. Ceritanya memikat atau tidak. Itu saja,” ujarnya.
Dee tak memedulikan pengelompokan karya sastra dan bukan sastra. Baginya, pengelompokan-pengelompokan itu memang telah menjadi tugas seorang kritikus. “Tidak usah menjadi beban penulis,” kata Dee.
Sementara itu, pengelompokan genre sastra karya menurutnya memang cukup penting bagi telaah sastra dan kategorisasi di toko buku.
Sementara dalam kiblat penulisan sebuah karya, Dee mengaku hanya melihat kontennya. “Ketertarikan saya sangat acak, dari mulai komik Jepang, kajian UFO, sampai buku puisi Sapardi. Saya nggak pernah fanatik terhadap satu genre tertentu,” Dee menambahkan.
Kamar-kamar Sastra
Bagi Dee, ‘kamar-kamar’ sastra tak pernah memengaruhi proses kreatifnya dalam berkarya.
“Dibuat “kamar-kamar” boleh, tidak juga tidak apa-apa,” Dee mengungkapkan.
Segmentasi pembaca pun bagi Dee banyak basisnya, mulai dari usia, gender, kelas ekonomi, dan sebagainya.
“Saya nggak tahu persis bagaimana kausalitas segmentasi pembaca dengan kategori buku, pengaruh sih pasti ada, tapi kayaknya ini lebih relevan bagi pelaku industri buku seperti penerbit, toko buku, dan sebagainya,” katanya.
Sementara kritikus menurut Dee punya tugas dan sudut pandangnya sendiri.
Sejalan dengan pemikiran Dee, sastrawan Seno Gumira Ajidarma beberapa waktu juga mengungkapkan hal serupa.
Memandang persoalan fundamental yang sering diperdebatkan dalam dunia sastra ini, Seno memberi gambaran bahwa sebenarnya pengelompokan karya sastra dan bukan sastra itu tidak ada.
“Tidak ada firman Tuhan tentang sastra,” kata Seno saat ditemui di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Desember lalu. Menurut Seno, pengelompokan sastra dalam teori sastra terjadi karena adanya kepentingan politik peradaban oleh kelompok tertentu.
Pengelompokan sastra, lanjut Seno juga bersinggungan dengan kekuasaan.
“Siapa yang paling berkuasa, yang pintar ngomong ya menang, kalah ngomong ya kalah,” ujarnya.
Editor : Sotyati
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...