Dikritik, Uang Pajak Rokok Atasi Defisit Anggaran BPJS Kesehatan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Setelah terus mengalami defisit anggaran dalam beberapa tahun terakhir, BPJS Kesehatan akhirnya akan mendapat suntikan dana sebesar Rp4,9 triliun dari pajak rokok daerah.
Namun, upaya pemerintah menopang keuangan BPJS itu, dianggap tak sesuai dengan gerakan pengendalian tembakau.
Peraturan Menteri Kesehatan 40/2016 menyebut, pajak rokok harus digunakan program pengendalian konsumsi rokok, dan produk tembakau lain.
Ada pula delapan program yang dapat memanfaatkan pajak rokok, antara lain penurunan risiko penyakit menular, peningkatan gizi masyarakat, pembangunan serta pemeliharaan puskesmas.
Pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Widyastuti Soerojo, mengatakan kebijakan pemerintah mengalihkan pajak rokok daerah untuk menutup defisit anggaran BPJS kontradiktif.
Bukannya mencegah produksi dan konsumsi rokok, kata Widyastuti, pajak itu kini justru dialokasikan untuk pembiayaan penyakit, yang juga disebabkan zat berbahaya dalam rokok.
"Pemerintah belum berpihak pada pengendalian dan pencegahan penyakit akibat rokok," kata Widyastuti saat dihubungi, Selasa (18/9).
"Jumlah orang sakit akan bertambah terus. Padahal 75 persen pajak rokok itu seharusnya digunakan untuk pencegahan,” katanya.
Widyastuti berkata, pemerintah seharusnya dapat menemukan solusi lain terhadap persoalan defisit anggaran BPJS yang terjadi setiap tahun.
Selama tiga tahun terakhir keuangan BPJS selalu negatif. Pada tahun 2014 defisit anggaran perusahaan publik itu mencapai Rp3,3 triliun.
Angka itu membengkak menjadi Rp5,7 triliun tahun 2015 dan Rp9,7 triliun pada 2016.
Adapun, dalam dua bulan terakhir kekurangan anggaran BPJS mencapai Rp2 triliun. Hingga berita ini diturunkan, BPJS defisit itu sebesar Rp7,05 miliar.
Pada akhir 2018, BPJS Kesehatan diperkirakan akan menanggung defisit anggaran sebesar Rp16 triliun.
"Pemerintah mencari jalan pintas untuk menutup defisit. Seharusnya bisa menggunakan sumber lain," kata Widyastuti.
Namun, pendapat itu disanggah Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, Daeng Faqih. Menurutnya, pemanfaatan pajak dan cukai rokok memang untuk kesehatan dan BPJS masuk dalam kategori itu.
Daeng mengatakan, alokasi pajak tembakau untuk BPJS bukanlah pembenaran bagi produsen dan konsumen rokok.
"Sama seperti asuransi kecelakaan mobil. Tidak berarti asuransi itu mempersilakan kecelakaan mobil, justru ini memperkecil risiko."
"Yang terjadi di dunia asuransi, termasuk BPJS, preventif untuk risiko ke depan, ada yang menjamin, bukan mendorong penyakit," kata Daeng.
Dalam skema Kementerian Keuangan, pemerintah akan mengambil alih 75 persen dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau, yang setiap tahun disalurkan dan menjadi hak pemerintah daerah.
Anggaran itu akan digunakan untuk menopang arus kas BPJS. Dalam APBN 2018, dana bagi hasil cukai tembakau itu mencapai Rp2,9 triliun dan menjadi hak 18 pemerintah provinsi dan 339 pemerintah tingkat kabupaten/kota.
Pemerintah daerah yang dana bagi hasilnya dipotong adalah yang menunggak pembayaran kepada BPJS.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Iqbal Anas Ma'ruf, menyebut penggunaan pajak rokok untuk kesehatan juga diterapkan Thailand dan Filipina. Ia berkata, skema yang sama dapat diterapkan untuk BPJS.
Namun, Iqbal menambahkan, BPJS tetap meminta pemerintah memberi solusi jangka panjang bagi keuangan lembaganya.
"Pajak rokok Itu untuk jangka pendek. Tapi kami mendorong supaya tidak terus terjadi keterlambatan, menggunakan skema anjak piutang," kata Iqbal.
Anjak piutang, menurut Iqbal, dapat membantu pendanaan rumah sakit dalam jangka pendek. Artinya, rumah sakit tak akan lagi menunggak piutang dari BPJS yang kekurangan dana segar. (bbc.com)
Editor : Sotyati
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...