Dilecehkan dan Penjara: Hidup Orang Kristen di Iran
SATUHARAPAN.COM - Dabrina Tamraz tumbuh sebagai putri seorang pendeta yang hidup di bawah rezim Iran. Di samping kebaktian di gereja dan belajar Alkitab, kenangan masa kecilnya ternoda oleh pengawasan pemerintah, pelecehan, interogasi, dan penahanan. Dalam wawancara eksklusif dengan sebuah media Arab, Tamraz menceritakan kisah kehidupan sebagai seorang Kristen yang teraniaya di Iran.
“Keluarga kami dibuntuti setiap waktu oleh otoritas Iran. Mereka bahkan masuk ke rumah kami. Mata-mata ada di dalam gereja dan kadang-kadang tentara berdiri di depan. Saya ditahan berkali-kali sampai saya lupa berapa jumlahnya,” kata Dabrina Tamraz dalam wawancara eksklusif dengan Al Arabiya, dikutip pada Rabu (2/10).
Selama 40 tahun ayahnya, Pendeta Victor Tamraz, berkhotbah tak terlepas dari penganiayaan. Dia sering ditangkap dan diinterogasi oleh pemerintah Iran di hari Minggu tepat sebelum kebaktian gereja dimulai. Gereja keluarga Tamraz, Gereja Pantekosta Asyur di Teheran, ditutup pada 2009 karena pelayanan kebaktian menggunakan bahasa nasional Persia - yang dilarang untuk semua gereja di Iran.
Sekarang ayah Tamraz dilarang dari mimbar. Dia ditangkap tahun 2014, ditahan di sel isolasi selama 65 hari, dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara karena “melakukan penginjilan” dan “kegiatan ilegal gereja rumah,” tindakan yang dianggap oleh rezim Iran sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.
Ibu Tamraz ditangkap pada tahun 2017 dan dipenjara lima tahun karena dituduh melatih orang-orang pemimpin gereja dan pendeta untuk menjadi mata-mata. Kakak laki-lakinya ditangkap karena bergabung dengan gereja rumah dan dijatuhi hukuman empat bulan.
Penahanan keluarga Tamraz telah menarik perhatian internasional terhadap penganiayaan Iran terhadap minoritas agama. Wakil Presiden AS Mike Pence secara terbuka meminta rezim Iran dalam pidatonya di Departemen Luar Negeri AS pada bulan Juli lalu supaya membebaskan ayah Tamraz, mengatakan pendeta itu dijatuhi hukuman "atas tuduhan yang dibuat-buat" terkait dengan "kegiatan keagamaannya yang damai."
Tamraz, melarikan diri dari Iran sembilan tahun lalu dan sekarang tinggal di Eropa, mengatakan pesannya kepada kepemimpinan Iran adalah membebaskan orang-orang Kristen yang ditahan dan membebaskan anggota keluarganya dari hukuman.
"Saya akan mengatakan kepada (Presiden Iran Hassan) Rouhani bahwa kebebasan beragama adalah hak dasar bagi semua warga negara Anda," kata Dabrina Tamraz.
Selama masa jabatan pertamanya, Rouhani menyatakan niatnya untuk membahas kebebasan beragama di negara itu. Sekarang dalam masa jabatan kedua kepresidenannya, Rouhani belum mengusulkan kebijakan apa pun yang membahas kebebasan beragama bagi minoritas negara itu.
Konstitusi Iran mengakui Islam Syiah sebagai agama resmi. Juga menyatakan bahwa orang Kristen, Yahudi, dan Zoroaster adalah agama minoritas dilindungi yang bebas menjalankan ritual mereka "dalam batas-batas hukum."
Tetapi hukum diterapkan dengan banyak batasan. Iran adalah rumah bagi hampir 300.000 orang Kristen, populasi ini tidak bebas dalam beribadah, mempelajari, mempraktikkan, atau mengajarkan iman mereka.
Menurut laporan Komisi Kebebasan Beragama Internasional AS 2019, rezim Iran menjatuhkan hukuman penjara kepada orang Kristen karena berkumpul merayakan Natal privat, mengorganisasi dan memimpin gereja rumah, dan membangun atau merenovasi rumah ibadah.
Laporan itu, yang menyebutkan penganiayaan terhadap keluarga Tamraz, menyatakan adanya peningkatan dramatis dalam penangkapan orang-orang Kristen. Setidaknya 171 orang Kristen ditangkap pada tahun 2018. Lebih dari 40 orang telah ditangkap di tahun ini.
“Sebagai orang Kristen kita dianggap bekerja sama dengan Amerika untuk mengambil alih tahta kekuasaan dari Iran. Itu adalah yang mereka (otoritas) katakan,” kata Tamraz.
Pemerintah Iran menyangkal bahwa minoritas agama menghadapi represi. Rouhani telah mengklaim bahwa "Orang Kristen memiliki hak yang sama dengan orang lain," menurut kantor berita resmi Iran, IRNA. Tahun ini Presiden Rouhani secara terbuka memberi selamat kepada orang-orang Kristen Iran pada saat Tahun Baru. Sementara itu pihak berwenang menindak komunitas Kristen di Iran. Pada minggu pertama bulan Desember saja, 114 orang Kristen ditangkap di Iran.
Iran telah berulang kali menangkap orang-orang Kristen menjelang perayaan Natal. Rumah keluarga Tamraz digerebek oleh petugas keamanan Iran saat merayakan Natal tahun 2014. Petugas menangkap semua peserta, menyita Alkitab mereka dan menyita barang-barang pribadi. Semua peserta diwajibkan menandatangani formulir yang berkomitmen untuk tidak pernah berkumpul lagi.
Tamraz mengatakan dia merasa hancur memikirkan keluarga dan orang-orang Kristen di Iran, tetapi berterima kasih kepada Presiden AS Donald Trump dan pemerintahannya karena menjadi "suara keras" dalam meningkatkan kesadaran tentang penganiayaan mereka.
“Amerika memiliki pengaruh terhadap Iran dan dapat mempengaruhi perubahan. Saya menyadari bahwa pejabat pemerintahan Trump menyebutkan kasus penganiayaan Kristen di Iran dalam negosiasi mereka. Kebebasan beragama adalah topik fokus bagi Presiden Trump,” kata Tamraz.
Tamraz bertemu dengan Trump di Gedung Putih pada bulan Juli, bersama 27 orang yang selamat dari penganiayaan agama dari seluruh dunia. Dia mohon Presiden memperjuangkan masalah yang dihadapi keluarganya dan umat Kristen lainnya di Iran.
Trump mengatakan akan melakukannya, dan baru-baru ini mengangkat masalah kebebasan beragama secara terbuka. Dalam pidato terbarunya di Majelis Umum PBB, Trump menegaskan komitmen Amerika dalam melindungi kebebasan beragama.
“Hak fundamental ini berada di bawah ancaman yang terus meningkat di seluruh dunia. Orang Amerika tidak akan pernah lelah dalam upaya kami untuk mempertahankan dan mempromosikan kebebasan beribadah dan beragama. Kami ingin dan mendukung kebebasan beragama untuk semua," kata Trump.
Trump mengatakan bahwa satu "komitmen kuat Amerika" adalah melindungi para pemimpin agama.
Tamraz sendiri sekarang adalah pemimpin agama; mengikuti ayahnya dia menjadi pendeta Kristen, tetapi di Eropa, di mana dia tidak menghadapi hukuman penjara.
Tamraz mengatakan bahwa dia masih berharap untuk kebebasan beragama di negara asalnya Iran.
"Ini bukan harapan besar, tapi saya masih punya harapan. Saya percaya bahwa Tuhan bekerja, memberi arah dan keajaiban di Iran, terlepas dari penganiayaan,” katanya. (alarabiya.net)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...