Dinding Kesunyian "Karnaval" Alie Gopal
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Glamour, warna-warni, hiruk-pikuk, dan keramaian lainnya adalah wajah dari sebuah karnaval yang kerap digunakan untuk menandai sebuah peristiwa/kejadian dalam perayaan bersama dan biasanya dalam sebuah kirab/pawai bersama: ada ekspresi, ada presentasi, ada selebrasi. Dalam konteks demikian, hampir setiap daerah, kota dimanapun di belahan dunia memiliki karnaval yang entah itu dilakukan secara rutin setiap tahun ataupun insidentil.
Sebagai sebuah peristiwa, karnaval menjadi alih rupa-fungsi gambaran banyak hal yang berhubungan dengan kehidupan manusia mulai dari hal yang paling sederhana hingga paling rumit yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia. Karnaval menjadi salah satu media yang efektif untuk menyampaikan banyak hal dalam satu perayaan: gagasan, pemikiran, kritik, atau hanya sekedar kemeriahan semata.
Mural sebagai salah satu catatan rupa kota menjadi karnaval statis bagi yang melewati ruas area tersebut secara berulang. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi orang yang baru melewati atau beberapa kali saja. Pengalaman visual secara artistik-estetik kerap mengendap bagi siapapun yang menyaksikan sebuah mural pada sudut-sudut kota dan itu akan membawa kesan yang beragam, setidaknya akan terekam dalam beberapa waktu lamanya dalam ingatan.
Seniman-perupa kontemporer Alie Gopal dengan karya-karyanya yang banyak berbicara tentang ekspresi rupa wajah sebagai presentasi ekspresi individu maupun masyarakat, dalam karya-karya terbarunya memotret warna-warni yang ada dalam sebuah kesenyapan dan kedalamannya masing-masing dalam pameran bertajuk "Karnaval".
Pameran yang dibuka pada Jumat (5/10) sore menampilkan lima karya terbaru Alie Gopal dalam dua-tiga matra. Karya-karya Alie Gopal sendiri menjadi "pembekuan" berbagai karnaval dalam perjalanan kreatifnya memotret beragam peristiwa dalam keramaian, euforia masyarakat, ataupun keintiman dirinya sendiri.
Pada empat karya dalam tiga matra dengan dimensi dan medium yang berbeda Alie Gopal bercerita tentang hal yang berbeda. Figur bersayap dengan medium kayu dan kawat-plat besi dalam karya berjudul "Karnaval I" serta dua karya topeng dalam "Karnaval II-III" secara kebentukan dan pemilihan warna mewakili bagaimana kemeriahan dan riang gembira sebuah pawai karnaval melintasi ruang-ruang kota.
Begitupun karya dua matra pada "Karnaval V" memanfaatkan kain tenun dengan warna dominan merah dan enam belas rupa wajah dalam cutting paper dalam penataan sederhana pun tetap menawarkan hiruk-pikuknya pawai. Ada hal menarik dalam "Karnaval V" dimana enam belas rupa wajah disajikan Alie Gopal dalam ekspresi yang datar.
Karnaval di Kota Festival
"Berbagai pawai-karnaval yang dihelat di Yogyakarta sejauh ini baru terhenti pada seremoni sesaat. Hampir-hampir tidak ada pesan-pesan yang tersisa dan tersampaikan dari karnaval yang terekam untuk beberapa saat lamanya begitu acara selesai, kecuali rasa capai dan sampah-sampah di berbagai sudut area karnaval. Selain kemeriahan itu sendiri, karnaval sebagai salah satu wujud rekaman wajah masyarakat dalam keseharian (yang disajikan pada panggung berjalan) belum mampu membangunkan ingatan kolektif warga atas berbagai permasalahan yang dihadapinya dan solusinya," jelas Alie Gopal kepada satuharapan.com saat pembukaan pameran, Jumat (5/10) sore.
Wilayah Yogyakarta dikenal dengan kota festival dengan jumlah ratusan festival/pawai/kirab yang berlangsung hampir setiap minggu di berbagai wilayah kabupaten-kota. Kondisi ini tentu menguntungkan bagi pengembangan wilayah Yogyakarta sebagai tujuan wisata domestik dan manca negara. Namun tanpa pengelolaan maupun penjadwalan yang tertata dalam koordinasi lintas wilayah-sektor, karnaval/pawai/kirab terkesan hanya berebut jumlah pengunjung sebagai ukuran keberhasilan program/kegiatan.
Catatan satuharapan.com, pada akhir pekan ini di wilayah Yogyakarta dihelat banyak acara baik yang berada di satu titik ataupun di titik yang berbeda. Sabtu (6/10) sore Jogja International Batik Biennale 2018 akan menghelat Karnaval Batik di sepanjang Jalan Malioboro sebagai rangkaian acaranya yang digelar di beberapa titik di seputaran Kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta, pada saat bersamaan Kustomfest 2018 digelar di Jogja Expo Center. Sementara pada Minggu (7/10) sore pada ruas jalan Simpang Tugu Jogja-Jalan Margo Utomo- Stasiun Tugu dihelat Wayang Jogja Night Carnival 2018, pada saat bersamaan di sepanjang Jalan Malioboro hingga Titik Nol KM Yogyakarta digelar Grebeg Santri 2018. Meskipun memiliki segmentasi pengunjung yang berbeda, penumpukan event dalam jadwal ataupun tempat yang berdekatan menjadi gambaran bagaimana program-program yang ada terkesan jauh dari koordinasi.
Mendeklarasikan wilayahnya sebagai destinasi wisata, Yogyakarta harus mulai berbenah dalam pengelolaan program yang terkait dengan aktivitas pariwisata sepanjang tahun dan tidak terbatas pada waktu-waktu liburan ataupun akhir tahun. Berbagai kegiatan yang tersebar secara kewilayahan, lintas sektor, melibatkan partisipasi warga dalam wilayah yang luas, serta terselenggara sepanjang tahun menjadi ukuran keberhasilan program pembangunan sosial-ekonomi dan sumberdaya manusia yang disusun dalam sebuah program yang terencana sepanjang tahun. Dengan begitu, program-program pembangunan sebagai bagian untuk peningkatan ekonomi dan pengembangan wilayah bisa semakin berdaya bagi warganya.
"Karnaval V" seolah menjadi kritik Alie Gopal atas hiruk-pikuknya perhelatan karnaval di Yogyakarta yang terkesan hanya berebut jumlah pengunjung. Dan kali ini Alie Gopal membekukannya di dinding ruang pamer dalam kesunyian dialog.
Pameran tunggal Alie Gopal bertajuk "Karnaval" berlangsung 5-19 Oktober 2018 di Miracle Prints, Jalan Suryodiningratan MJ II/853, Mantrijeron, Yogyakarta.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...