Dirut PLN Penuhi Panggilan KPK
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Direktur Utama PT PLN, Sofyan Basir, memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah terkait usulan penganggaran proyek pembangunan infrastruktur energi terbarukan di Deiyai.
"Saya dipanggil untuk memberikan keterangan, kasih informasi," kata Sofyan saat tiba di gedung KPK Jakarta sekitar pukul 11.05 WIB, hari Senin (25/1).
Sofyan diperiksa sebagai saksi untuk anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Hanura, Dewie Yasin Limpo, yang menjadi tersangka dalam perkara ini. Dewie diketahui bersedia mengawal pengajuan pembangunan proyek pembangkit listrik di daerah Deiyai dengan imbalan commitment fee sebesar 7 persen dari total anggaran sebesar Rp 50 miliar.
"Ini bukan proyek di PLN, tapi di APBN," kata Sofyan.
Namun, Sofyan mengaku belum pernah melakukan rapat dengan Dewie Limpo terkait proyek tersebut.
"Belum pernah, belum ada rapat," ujar Sofyan singkat.
Dalam perkara ini, Dewie diduga menerima 177.700 dolar Singapura (sekitar Rp 1,7 miliar) dari Kepala Dinas ESDM kabupaten Deiyai, Papua, Irenius Adii dan pemilik PT Abdi Bumi Cendrawasih, Setiady Jusuf, agar Dewie mengupayakan anggaran dari Pemerintah Pusat untuk Pembangunan pembangkit listrik di Deiyai.
Jumlah tersebut adalah separuh dari commitment fee sebesar 7 persen dari total anggaran sebesar Rp 50 miliar.
Selain dalam surat dakwaan Irenius dan Setiady, awalnya Dewie meminta dana pengawalan sebesar 10 persen dari anggaran yang diusulkan untuk pengurusan anggaran pembangkit listrik Kabupaten Deiyai.
Dewie pun sempat akan membicarakan dengan anggota badan anggaran Komisi VII DPR, sekaligus menyampaikan mekanisme penganggaran melalui dana aspirasi sebesar Rp 50 miliar sehingga dana pengawalan yang harus disiapkan adalah Rp 2 miliar.
Namun, Setiady hanya bersedia memberikan dana pengawalan sebesar 7 persen dari anggaran yang diusulkan dengan syarat bila Setiady gagal menjadi pelaksana proyek maka uang harus dikembalikan. Atas kesepakatan itu Dewie meminta Setiady menyerahkan setengah dari dana pengawalan sebelum pengesahan ABPN 2016 melalui Rinelda.
Uang pun diserahkan pada 20 Oktober 2015 di Kelapa Gading, Jakarta Utara, melalui asisten Dewie, Rinelda Bandaso dari Setiady yang disaksikan Irenius. Namun, setelah penyerahan uang, KPK menangkap ketiganya.
Proyek itu merupakan bagian dari proyek unggulan pemerintah untuk membangun pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW) yang diluncurkan pada tanggal 4 Mei 2015.
Atas perbuatan tersebut, Dewie Yasin Limpo, asistennya, Rinelda Bandaso, dan satu staf Dewie lain bernama Bambang Wahyuhadi disangkakan pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 64 ayat 1 KUHP dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan, Irenius dan Setiady didakwa berdasarkan pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau pasal 13 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. (Ant)
Editor : Eben E. Siadari
Victor Gyokeres Pemain Terbaik Swedia 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyerang Sporting CP, Viktor Gyokeres terpilih sebagai pemain terbaik Sw...