Diskusi AMAN dan Komnas HAM untuk Membangun Aliansi Masyarakat Adat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sampai dengan saat ini ada kendala dan jarak antara instrumen-instrumen internasional terkait masyarakat adat dengan implementasinya dalam kebijakan negara. Kebijakan negara cenderung masih tumpang tindih dan tidak konsisten. Kebijakan luar negeri Indonesia juga tidak mengakui masyarakat adat sebagai indigenous peoples sehingga memperlambat proses implementasi kebijakan internasional terkait masyarakat adat di dalam dan di luar negeri.
Sementara dalam beberapa hal, hubungan pemerintah dengan masyarakat adat mengalami kemajuan. Pemerintah Indonesia sudah mengadopsi deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat pada tanggal 13 September 2007 sejak dimulainya Dekade Masyarakat Adat pada tahun 1995. Kebijakan negara juga mengalami kemajuan dengan lahirnya beberapa Undang-Undang yang mengakui masyarakat adat dan haknya.
Seperti dicontohkan dalam Undang-Undang Nomer 27 Tahun 2007 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada tanggal 13 Mei 2013 lalu, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Keputusan No.35/PUU-X/2012 tentang Undang-Undang Kehutanan Nomer 41 Tahun 1999 yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara. Sementara saat ini tengah dibahas Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di DPR RI.
Dalam rangka menyoroti pentingnya masalah pengakuan hak-hak masyarakat adat atas tanahnya dan membangun kerangka kerja untuk membangun kedekatan dan membangun hubungan ekonomi, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyelenggarakan Diskusi Interaktif “Masyarakat Adat Membangun Aliansi: Menjunjung Fakta, Perjanjian-Perjanjian, dan Pengaturan Konstruktif Lainnya” di Jakarta pada hari Senin siang ini (19/8).
Hadir sebagai pembicara dalam sesi pertama antara lain, Staf Khusus Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi, Deputi Advokasi Hukum dan Politik AMAN Mina Susana Setran, dengan moderator Mia Siskawati dari Sajogyo Intistute. Diskusi sesi pertama ini merupakan overview atas masyarakat adat secara global dan nasional.
Sementara pada diskusi sesi kedua membahas pengakuan negara atas masyarakat adat. Hadir sebagai pembicara dalam sesi kedua antara lain, Sandra Moniaga dari Komnas HAM, Utusan Indonesia untuk ASEAN Intergovernmental on Human Rights (Komisi HAM ASEAN) Rafendi Djamin, Ahmad Santosa dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Ahmad Sadiki, dengan moderator Wimar Witoelar dari Yayasan Perspektif Baru.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...