Diskusi Musikal AntiKorupsi Hadirkan Busyro Muqoddas
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Dinamika korupsi di Indonesia sangat dahsyat, berkelindan, bagai benang kusut yang sulit terurai. Fenomena korupsi yang masif, terstruktur, dan sistemik ini perlu melibatkan berbagai kalangan untuk menyelesaikannya. Salah satu upaya penyelesaian bahaya korupsi adalah mengajak anak muda, sedari dini untuk memahami tentang kehancuran suatu bangsa akibat dari tindakan korupsi.
Salah satu upaya untuk menggiring anak muda agar terlibat dalam penyelesaian masalah korupsi adalah menggelar berbagai diskusi. Salah satunya adalah Diskusi Musikal AntiKorupsi yang diselenggarakan atas kerjasama antara Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) dengan Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Diskusi yang dihelat pada Rabu (17/12) di Convention Hall, UIN Sunan Kalijaga ini menghadirkan dua pembicara, yaitu Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqoddas dan pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki.
Busyro Muqoddas mengawali diskusi dengan mengupas fenomena korupsi di Indonesia yang sangat dahsyat. Menurut Busyro, fenomena korupsi di Indonesia yang telah merusak setiap sendi kehidupan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu aktivis partai politik, kepala daerah, pelaku bisnis, dan orang yang bersifat oportunis.
“Ada empat faktor yang menjadi menyebabkan pada masalah korupsi, pertama, para aktivis partai politik dan daerah yang telah tercemar kepribadiannya; kedua, birokrat pemerintah dan daerah; ketiga, pelaku bisnis kotor; dan keempat, orang-orang oportunis. Poin nomor empat ini yang ada di mana-mana. Salah satunya ada di kampus dengan fakta ada 9 guru besar dan 200 Doktor serta Ph.D yang tersangkut kasus korupsi,” ujar Busyro.
Menurut Busyro, kampus kini semakin jauh dari tradisi untuk mencetak pemimpin. Busyro menambahkan, bahwa budaya kita pada masa lalu hanya berkutat pada budaya yang bercirikan hegemoni, yaitu budaya untuk mencari gelar.
“Kampus semakin jauh dari tradisi untuk memperkuat kepemimpinan. Kepemimpinan di sini adalah tradisi untuk berani melakukan proses dekonstruksi, liberalisasi (pemerdekaan), dan humanisasi,” tutur penerima Bung Hatta Award tahun 2008 ini.
Menurut Busyro, sosok Bung Hatta sangat layak dijadikan sebagai teladan anti-korupsi, khususnya bagi citivitas akademika. Oleh karena itu, menurut Busyro, kampus adalah ajang yang tepat untuk mereproduksi Bung Hatta-Bung Hatta baru.
Korupsi dan Demokrasi
Ada benang merah yang jelas antara kematangan dalam berdemokrasi di suatu negara dengan keberhasilan dalam menekan laju perkembangan korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika demokrasi telah matang, maka rakyat, partai politik, parleman, hingga media akan semakin kuat dalam mengawasi jalannya pemerintahan.
“Di negara dengan tingkat demokrasi yang matang, maka rakyat, partai politik, parlemen, hingga negara akan menjadi kuat. Hal ini dapat berimbas terhadap pengawasan yang kuat bagi para penyelenggara negara sehingga korupsi menjadi lemah,” demikian disampaikan oleh Teten Masduki.
Berawal dari kematangan demokrasi inilah, menurut Teten, maka institusi negara dapat diperkuat. Bersamaan dengan itu pula, lanjut Teten, jaringan yang kuat di masyarakat juga harus dibangun untuk melawan korupsi. Dengan cara ini, maka perlawanan terhadap oligarki yang kotor dapat dilakukan.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...