Diskusi Selamatkan Demokrasi Indonesia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Tragedi tahun 1998 yang banyak makan korban adalah satu bentuk kegagalan dari sistem manajemen negara atau pemerintah. Hal itu disampaikan Hermawan Sulistyo, salah satu pelaku sejarah yang ikut memperjuangkan reformasi untuk mengedepankan demokrasi di Indonesia dalam diskusi bertajuk “Selamatkan Demokrasi Indonesia“, yang digelar di Media Center Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Jumat (10/10).
Hadir sebagai narasumber pengamat Pusat Penelitian Politik LIPI (P2P) lainnya, yakni Ikrar Nusa Bhakti, Asvi Warman Adam, dan Syamsuddin Haris, yang masing-masing berbicara tentang kondisi politik di Indonesia pascapemilihan presiden. Salah satu topik pembicaraan adalah proses sistem pemilihan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang disaksikan jutaan rakyat Indonesia, yang mencerminkan bagaimana kekuatan sistem parlemen akan menjadi roda politik untuk mengawasi pemerintahan presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla nanti.
Hal tersebut disampaikan Ikrar Nusa Bhakti, yang menilai bahwa desas desus pemakzulan saat ini sudah mulai berkembang, padahal presiden dan wakil presiden terpilih belum juga dilantik. Diharapkan hal tersebut tidak terjadi selama pemerintahan Joko Widodo masih dalam landasan konstitusi.
Sementara pengamat sejarah Asvi Warman mengatakan proses politik yang berkembang saat ini merupakan sisa-sisa dari rezim Orde Baru (Orba), terbukti bagaimana sisa-sisa kekuatan tersebut dimunculkan, salah satunya tentang pengajuan nama mantan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional. Usulan tersebut diajukan Partai Golongan Karya (Golkar) yang juga mendapat dukungan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Asvi juga menyinggung penggunaan lambang negara Garuda Indonesia sebagai maskot sebuah partai, dengan bubuhan warna merah mirip dengan lambang negara Indonesia, untuk mencerminkan nasionalisme. Asvi menilai tidak seharusnya lambang negara digunakan, karena sulit memakainya sebagai ukuran pemakai lambang itu lebih memiliki rasa nasionalisme sedangkan yang di luar itu tidak. Demikian juga tentang penamaan kelompok atau koalisi yang diberi nama Koalisi Merah Putih, yang jelas-jelas merupakan warna bendera kebangsaan Indonesia.
Menurut Asvi, lambang negara seyogianya tidak dijadikan maskot sebuah partai politik, karena itu merupakan lambang atau simbol negara.
Editor : Sotyati
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...