DPR "Galau" Siapa Tangani Sengketa Pilkada
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman menyampaikan pihaknya belum bisa menentukan lembaga yang akan menangani sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada). Menurut dia, DPR harus lebih dahulu berdiskusi dengan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).
"Soal peradilan mana yang menangani sengketa Pilkada, kita (Komisi II DPR) harus duduk bersama dulu dengan MK dan MA. Kalau tidak begitu, tidak akan ada yang siap," kata Rambe di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/2).
Menurut dia, hal ini bila tidak dirundingkan akan menjadi masalah. Sebab, lembaga peradilan yang diberi kewenangan menangani sengketa Pilkada harus mendapat persetujuan pemerintah.
"MK tidak mau tangani sengketa Pilkada, mereka bilang ini bukan rezim pemilihan umum, terus MA minta dipertimbangkan untuk tidak diberi tugas menangani sengketa Pilkada," kata Rambe.
Oleh karena itu, politisi Partai Golkar itu mengatakan Komisi II DPR merasa masalah penunjukkan lembaga yang menangani sengketa Pilkada merupakan hal krusial dalam revisi UU No 1/2015. Sementara poin lainnya, seperti waktu pelaksanaan Pilkada, ia hanya mengatakan DPR sudah sepakat agar berlangsung bulan Februari 2016.
"Itu tidak usah kita bahas dulu, cuma pemerintah yang mau dilaksanakan akhir tahun 2015, kebanyakan maunya 2016," ujar dia.
Beban MA Banyak
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Syarif Abdullah Al Kadrie mengatakan putusan MK yang menyatakan bahwa Pilkada bukan rezim Pemilu, bukan keputusan bulat seluruh hakim MK. Beracuan pada UUD 1945 bahwa rezim pemilu hanya Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), tidak sepenuhnya diterima semua pihak.
"Beban tugas MK saat ini hanya pengujian konstitusi yang jumlahnya juga tidak banyak, yang lebih banyak nganggurnya. Sementara MA tangani banyak perkara yang dikhawatirkan putusannya tidak baik. Ini yang tidak kita inginkan. Maka kita lebih diarahkan ke MK yang lebih rasional kembali tangani sengketa Pilkada," kata Syarif.
Menurut dia, alasan MA menolak tangani sengketa Pilkada masuk akal. Karena, lembaga tersebut sudah jujur bahwa fasilitas pendukung untuk tangani sengketa Pilkada tidak memadai seperti kantor-kantor Pengadilan Tinggi (PT) maupun Pengadilan Negeri (PN) di sejumlah daerah sudah banyak yang rusak, hakim-hakim tidak memadai secara kualitas dan integritas maupun potensi konflik yang tinggi di daerah dan lainnya.
"Kalau di MK kan tidak bersinggungan langsung dengan pihak yang menggugat dan keamanan di MK lebih terjamin. Jadi mudarotnya lebih kecil di MK dari pada di MA," kata Syarif.
Dia mengakui, masih ada fraksi-fraksi maupun berbagai kalangan yang menganggap mengembalikan sengketa Pilkada ke MK akan menimbulkan persepsi buruk di masyarakat bahwa seakan-akan DPR dan pemerintah mempermainkan konstitusi dan ketatanegaraan di Indonesia. Dimana, MA merupakan lembaga peradilan pertama yang tangani sengketa Pilkada.
Namun, Syarif mengungkapkan ketika MK dibentuk pada tahun 2003, kemudian penanganan sengketa di MA bermasalah dengan adanya money politik, MK akhirnya mengambil kewenangan tersebut. Begitu juga setelah 10 tahun berlalu, MK mengalami hal yang sama dengan MA, ketika terungkapnya money politik yang dilakukan oleh mantan Ketua MK, Akil Mochtar ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Kemudian MK mengeluarkan keputusan tidak lagi memiliki kewenangan mengadili sengketa Pilkada dan hal itu diakomodir oleh UU Pilkada bahwa MA kembali tangani sengketa Pilkada. "Ini serba sulit kalau diatur di UU Pilkada nanti diuji lagi ke MK. Tapi di hukum tata negara ada istilah putusan yang untuk kepentingan bangsa negara atau tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah, itu hukum yang tertinggi, meskipun bertentangan dengan konstitusi UU Pilkada bisa atur MK kembali tangani sengketa Pilkada," ujar dia.
Jangan Korbankan Bangsa
Syarif Abdullah Al Kadrie pun meminta, MK jangan mengorbankan kepentingan bangsa untuk mendapatkan keadilan dalam Pilkada ini dengan melepas kewenangannya dalam menangani sengketa Pilkada, sebab Pilkada termasuk rezim pemilu.
"Ini kekosongan hukum kalau tidak ada lembaga peradilan yang mau tangani sengketa Pilkada. Maka hakim MK harus jalani peraturan UU Pilkada yang nanti mengatur kewenangan menangani sengketa Pilkada dikembalikan ke MK," kata dia.
Sementara politisi PKB Amirul Tamin menjelaskan sifat penanganan perkara di MA tidak berdasarkan fakta di lapangan, seperti menghadirkan saksi-saksi ataupun barang bukti perkara. Melainkan, MA hanya mensidangkan perkara berdasarkan dokumen-dokumen seperti rekaman dan lainnya
"Kalau di MK sudah berdasarkan fakta dengan menghadirkan pihak-pihak yang berperkara dan dilengkapi juga dengan dokumen. Jadi kalau hanya berdasarkan dokumen, putusannya pun diragukan dan konflik pun terjadi," kata dia.
Terkait payung hukum, Amirul mengatakan, UU Pilkada yang sedang di revisi ini akan mengatur mengembalikan kewenangan MK tangani sengketa Pilkada. Dia pun meyakini fraksi-fraksi yang belum sepakat sengketa Pilkada kembali ditangani oleh MK, akan menyetujui usulan fraksinya tersebut.
"Termasuk pemerintah pada nantinya akan menyetujui sengketa pilkada kembali ditangani oleh MK, bukan oleh MA," kata dia.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...