DPR Sahkan RUU Minerba Menjadi Undang-Undang
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-undang mengenai Mineral dan Batu bara atas Revisi Perubahan UU Nomor 4/2009 mengenai Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi undang-undang.
Ketua DPR RI Puan Maharani dalam sidang Paripurna, Selasa (12/5), di Jakarta, memutuskan pembentukan undang-undang tersebut dapat disahkan.
DPR RI menggelar Rapat Paripurna pada Selasa siang, dengan agenda mengambil keputusan terkait beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) seperti Pertambangan Mineral dan Batubara dan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020.
Rapat Paripurna DPR melakukan pembicaraan Tingkat Il atau pengambilan keputusan terhadap RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Dalam pembahasan revisi UU Minerba tersebut Komisi VII DPR bersama pemerintah mengadakan rapat kerja sebelumnya, pada Senin (11/5) dengan agenda pengambilan keputusan Tingkat I. Dalam Raker tersebut, Komisi VII DPR dan pemerintah menyetujui revisi UU Minerba dan akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disetujui menjadi UU.
Rapat Paripurna DPR juga mengagendakan Pembicaraan Tingkat Il/Pengambilan Keputusan terhadap RUU tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang.
DPR melakukan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara yang baru disahkan itu dengan 15 penyempurnaan pada batang tubuh UU tersebut.
"Di dalam batang tubuh RUU Minerba, menghasilkan beberapa rumusan baru dan yang disempurnakan," ujar Ketua Komisi VII DPR Sugeng Supartowo dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-15 Masa Sidang III Tahun 2019-2020, di Jakarta, Selasa (12/5).
Penyempurnaan itu dilakukan melalui proses pembahasan secara intensif Daftar Inventarisasi Masalah RUU Minerba bersama Pemerintah dari tanggal 17 Februari 2020 hingga 6 Mei 2020.
Panitia Kerja RUU Minerba Komisi VII DPR RI menerima masukan dan pandangan dari Tim Peneliti Fakultas Hukum UI yang dipimpin oleh Prof Hikmahanto Juwana pada tanggal 7 April 2020 dan juga melaksanakan rapat dengan Komite II DPD RI pada tanggal 27 April 2020.
RUU Minerba juga telah disinkronisasikan dengan RUU Cipta Kerja sebagaimana keinginan dari Pemerintah. Hasil sinkronisasi dan harmonisasi dengan RUU Cipta Kerja kemudian menghasilkan beberapa perubahan substansi, sehingga perlu dilakukan penyesuaian, terutama yang berkaitan dengan kewenangan pengelolaan pertambangan minerba, penyesuaian nomenklatur perizinan, dan kebijakan terkait divestasi saham
Namun khusus yang terkait divestasi saham, Komisi VII DPR RI bersepakat, pencantuman divestasi saham badan usaha asing sebesar 51 persen mutlak dicantumkan di dalam batang tubuh RUU.
Adapun 15 rumusan baru dan penyempurnaan dalam revisi UU berisi 209 pasal itu, yaitu:
1. Terkait Penguasaan Minerba, disepakati bahwa Penguasaan Minerba diselenggarakan oleh pemerintah pusat melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan.
Selain itu, pemerintah pusat mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi penjualan dan harga mineral logam, mineral bukan logam jenis tertentu, dan batu bara.
2. Disepakati bahwa Wilayah Pertambangan sebagai bagian dari Wilayah Hukum Pertambangan merupakan landasan bagi penetapan Kegiatan Usaha Pertambangan.
3. Adanya jaminan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk tidak melakukan perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan terhadap WIUP, WPR, dan WIUPK yang telah ditetapkan, serta menjamin terbitnya perizinan lain yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan.
4. Terkait WPR, jika sebelumnya diberikan luas maksimal 25 hektare dan kedalaman maksimal 25 meter, melalui perubahan UU itu diberikan menjadi luasan maksimal 100 hektare dan mempunyai cadangan mineral logam dengan kedalaman maksimal 100 meter.
5. Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Izin dalam RUU Minerba ini terdiri atas; IUP, IUPK, IUPK sebagai kelanjutan Operasi.
Kontrak/Perjanjian, IPR, SIPB, Izin Penugasan, Izin Pengangkutan dan Penjualan, Izin Usaha Jasa Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan untuk Penjualan.
Terkait pemberian izin, pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha kepada gubernur. Pendelegasian kewenangan didasarkan pada prinsip efektivitas, efisiensi, akuntabilitas dan eksternalitas dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, antara lain dalam pemberian IPR dan SIPB.
6. Terkait, bagian pemerintah daerah dari hasil kegiatan pertambangan, jika sebelumnya pemerintah provinsi hanya mendapat bagian sebesar 1 persen, melalui RUU perubahan ini meningkat menjadi 1,5 persen.
7. Adanya kewajiban bagi menteri untuk menyediakan data dan informasi penambangan untuk: a. Menunjang penyiapan WP; b. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan c. Melakukan alih teknologi pertambangan.
Pengelolaan data dan informasi tersebut dilakukan oleh pusat data dan informasi pertambangan. Pusat data dan informasi pertambangan wajib menyajikan informasi pertambangan secara akurat, mutakhir, dan dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh pemegang izin pertambangan dan masyarakat.
8. Adanya kewajiban bagi pemegang IUP dan IUPK untuk menggunakan jalan pertambangan dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan. Jalan pertambangan tersebut dapat dibangun sendiri atau bekerjasama.
9. Adanya kewajiban bagi pemegang IUP dan IUPK untuk mengalokasikan dana untuk pelaksanaan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang besaran minimumnya ditetapkan oleh menteri.
10. Kewajiban bagi badan usaha pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang sahamnya dimiliki oleh asing untuk melakukan divestasi saham sebesar 51 persen secara berjenjang kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan/atau badan usaha swasta nasional.
11. Kewajiban bagi Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi untuk menyediakan dana ketahanan cadangan mineral dan batu bara yang dipergunakan untuk kegiatan penemuan cadangan baru.
12. Terkait kegiatan reklamasi dan pascatambang, Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi sebelum menciutkan atau mengembalikan WIUP atau WlUPK-nya wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang hingga mencapai tingkat keberhasilan 100 persen, begitu juga dengan eks-pemegang IUP atau IUPK yang telah berakhir wajib melaksanakan rekÅamasi dan pascatambang hingga mencapai tingkat keberhasilan 100 persen serta menempatkan dana jaminan pascatambang.
13. Terkait keberadaan Inspektur Tambang. Dalam perubahan Undang-Undang Minerba ini, tanggung jawab pengelolaan anggaran, sarana prasarana, serta operasional inspektur tambang dalam melakukan pengawasan dibebankan kepada menteri.
14. Terkait ketentuan pidana, untuk kegiatan penambangan tanpa izin yang sebelumnya dikenakan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar, diubah menjadi pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Begitu juga dengan pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu, setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi, tetapi melakukan kegiatan operasi produksi. Dan setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batu bara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Adanya ketentuan pidana yang sebelumnya tidak diatur di UU sebelumnya, yaitu setiap pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang memindahtangankan IUP, IUPK, IPR atau SIPB tanpa persetujuan menteri dipidana paling lama 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp5 miliar. Dan setiap orang yang IUP atau IUPK-nya dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan reklamasi dan/atau pascatambang dan/atau penempatan dana jaminan reklamasi dan/atau jaminan pascatambang dipidana paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.
Selain itu, eks-pemegang IUP atau IUPK dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran dana dalam rangka pelaksanaan kewajiban reklamasi dan/atau pascatambang yang menjadi kewajibannya.
15. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. IUP, IUPK, IPR, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, dan IUJP yang telah ada sebelum berlakunya UU ini dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin.
b. IUP, IUPK, IPR, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, dan IUJP yang telah ada sebelum berlakunya UU ini wajib memenuhi ketentuan terkait Perizinan Berusaha sesuai ketentuan dalam UU ini dalam jangka waktu dua tahun sejak UU berlaku
c. Gubernur wajib menyerahkan dokumen IUP Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IPR, IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengangkutan dan penjualan, dan IUJP yang telah diterbitkan gubernur sebelum berlakunya UU ini kepada menteri dalam jangka waktu paling lambat dua tahun sejak UU ini berlaku untuk diperbarui oleh menteri
d. Ketentuan yang tercantum dalam IUP, IUPK, dan IPR harus disesuaikan dengan ketentuan UU ini dalam jangka waktu paling lambat satu tahun sejak UU ini berlaku.
e. IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan pemurnian yang diterbitkan sebelum berlakunya UU ini disesuaikan menjadi perizinan usaha industri yang diterbitkan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian dalam jangka waktu paling lambat 1 tahun sejak UU ini berlaku. (Ant)
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...