DPR Tak Berhak Terima Usulan Daerah Otonomi Baru
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan DPR tidak berhak menerima usulan pemekaran daerah atau Daerah Otonom Baru (DOB). Sebab, menurut dia, Undang-Undang (UU) Pemda yang baru disahkan belum lama ini mengatur usulan DOB hanya satu pintu, yakni melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
"DPR itu saya minta tidak perlu bersuara lagi soal pemakaran daerah karena pemakaran sudah satu pintu, yakni hanya pemerintah saja, bukan seperti dulu tiga pintu yaitu DPR, DPD dan pemerintah," kata Robert kepada satuharapan.com, di Jakarta, Selasa (24/2).
Menurut dia, DPR tidak memahami ketentuan UU No.23/2014 juncto UU No.2/2015 tentang Pemerintahan Daerah bahwa hanya pemerintah yang berhak menerima usulan DOB. Sementara, Robert menjelaskan dalam UU tersebut diatur DPR hanya bersifat konsultasi dan memverifikasi usulan dari pemerintah.
"Masukkan dari DPR tidak harus dijalankan, tapi pemerintah boleh menolaknya. Jadi DPR ini mikirnya masih pikiran zaman dulu," ucap dia.
Robert melanjutkan, kewenangan DPR dalam pemekaran daerah hanya sebatas menerima dari pemerintah kemudian disahkan menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU). Itu pun, kata dia, DPR belum dapat membuat RUU karena pemerintah harus mengevaluasi lebih dahulu usulan DOB selama tiga tahun tanpa memiliki kepala daerah dan anggaran.
Direktur Eksekutif KPPOD itu menambahkan pemerintah juga dapat membantalkan usulan DOB dan mengembalikan ke daerah induknya. "Persiapan administrasitf pembentukan DOB itu 3 tahun, kemudian baru dibawa ke DPR untuk dibuatkan RUU. Jadi DPR hanya menerima," kata dia.
Robert mengambil contoh, pada periode lalu terdapat 87 usulan DOB yang diterima oleh DPR. Kemudian, setelah berkonsultasi dengan pemerintah, akhir 87 DOB itu tidak disahkan menjadi RUU. Sehingga, menurut dia, usulan DOB itu lebih tepat dari pemerintah sebagai pihak yang lebih mengetahui kebutuhan DOB.
"Saya juga menilai usulan DOB dari DPR itu lebih kepada kepentingan politik bukan untuk sejahterakan masyarakat atau pembangunan di daerah," ungkapnya.
Lanjutkan Moratorium
Selanjutnya, Robert mengatakan seharusnya pemerintah melanjutkan moratorium pemekaran daerah hingga dua tahun ke depan, karena pemerintah belum membuat Peraturan Pemerintah (PP) soal Pemerintahan Daerah sebagai bentuk penerapan dari UU Pemda.
Menurut dia, sejak tahun 1999 sampai 2014 lalu terdapat 220 DOB yang belum jelas keberadaannya apakah sesuai dengan tujuan DOB, yakni memajukan pembangunan dan mensejahterakan rakyat yang seharusnya hal itu dievaluasi sebelum membentuk atau mengusulkan DOB kembali. "Maka dari itu pemerintah dan DPR fokus saja dulu ke Pilkada serentak yang pada tahun ini ada 271 Pilkada karena DOB ini buat daerah pusing," pungkasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy mengatakan pertimbangan pembahasan 25 DOB kembali dilakukan karena melihat banyak sekali kebutuhan daerah untuk dimekarkan seiring dengan peningkatan kapasitas fiskal di daerah tersebut. Terlebih, kata dia, pemekeran wilayah dibutuhkan untuk meminimalisir tingkat penyalahgunaan anggaran atau kasus korupsi, misalnya di Riau, sebuah kabupaten mempunyai anggaran hampir Rp 3 triliun dan penggunannya tidak transparan karena jarak, jumlah penduduk berjauah sehingga penggunaan anggaran tidak jelas. Gubernur dan bupati-batu masuk bui kena kasus korupsi.
Lukman menjelaskan, terkait dengan posisi DOB disepakti masuk dalam Prolegnas secara komulatif artinya tidak ada pembatasan sehingga terbuka berapapun jumlahnya.
"Masyarakat dipersilahkan mengajukan pendaftaran sesuai prosedur berdasarkan peraturan pemerintah mengirimkan DOB kepada Kementerian Dalam Negeri dengan tembusan ke Komisi II," kata politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu.
Editor : Bayu Probo
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...