DPRD DKI dan “Cina Anjing”
Belajar dari Konflik Ahok vs. DPRD DKI
SATUHARAPAN.COM - Di ujung acara mediasi antara Pemprov DKI dan DPRD DKI yang difasilitasi oleh Kemendagri, 5 Maret lalu, tiba-tiba terdengar teriakan “Cina anjing!” yang ditujukan kepada Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Menurut Made Supriatna, seorang facebooker, orang yang mengucapkan dua kata tak senonoh itu adalah anggota DPRD DKI yang juga politikus PKS bernama H. Tubagus Arif, S.Ag. Benarkah? Tubagus menjawab, keesokan paginya, melalui akun twitter-nya: “Di pagi ini kita dikagetkan dg tuduhan yang keji & fitnah. Alhamdulillah lisan ini masih terjaga & tidak mengucapkan spt hal yang dituduhkan.”
Baiklah, tulisan ini tak bermaksud membahas siapa sesungguhnya orang yang meneriakkan “Cina anjing” itu. Namun yang pasti, kalau kita menonton langsung youtube-nya, tak bisa disangkal bahwa dua kata tak sopan itu betul-betul diteriakkan oleh seseorang dari barisan di mana para anggota DPRD itu duduk. Maka, sangatlah mengherankan bagaimana orang yang terhormat seperti dia dapat menyebut “anjing” kepada sesamanya.
Inilah yang patut dipersoalkan. Pertama, Ahok itu manusia. Tapi mengapa ada yang tega menyebutnya “anjing”? Apakah yang meneriakkan kata itu sedang bercanda seperti banyak remaja Jakarta yang sering mengucapkan “anjing” atau “anjrit” atau “jaing” kepada teman-temannya dengan nada enteng? Dapat dipastikan, dalam konteks rapat di Kemendagri itu kata “anjing” tidak diucapkan dengan maksud bercanda. Karena, nadanya tinggi seperti laiknya orang berteriak dan sedang marah. Kendati begitu, mestinya ia mampu mengendalikan diri untuk tak berkata sarkastik seperti itu.
Kedua, apakah Ahok itu Cina? Inilah hal yang harus dipahami betul oleh siapa pun warga negara Indonesia (WNI) – apalagi oleh wakil rakyat yang terhormat. Di ruang-ruang publik yang formal semisal di ruang rapat Kemendagri itu, pentingkah identitas primordial seseorang disebut-sebut? Tidak. Harus disadari bahwa di negara ini, sejak dulu hingga kini, sentimen SARA (suku, ras, agama dan antargolongan) dianggap sebagai sesuatu yang kurang baik untuk disebut-sebut dalam interaksi sosial. Jadi, di ruang-ruang publik yang formal, kita diharapkan tidak menyebut-nyebut khususnya nama agama dan etnik orang lain. Apalagi jika nama agama dan/atau etnik itu diucapkan secara pejoratif (bermaksud menghina atau melecehkan).
Lagi pula Ahok bukanlah Orang Cina (huruf C ditulis besar untuk menunjukkan Cina sebagai golongan, bukan individu). Ahok itu Tionghoa. Kalau Cina (atau China), dia mestinya Orang RRC (sekarang RRT dengan “T” berarti Tiongkok) atau Orang Taiwan (provinsi yang memisahkan diri dari RRT pada 1949). Ahok jelas WNI, sehingga sekalipun dia keturunan dari nenek-moyang yang dulunya berasal dari RRT atau Taiwan, dia seharusnya disebut Orang Tionghoa.
Kita prihatin, karena di usia Indonesia yang hampir 70 tahun ini ternyata masih banyak orang yang pikirannya dipenuhi sentimen SARA. Tidakkah mereka sadar bahwa dasar negara kita adalah Pancasila, yang menaungi pelbagai perbedaan primordialistik itu? Soal Tionghoa, mengapa mereka masih berpikir bahwa Tionghoa sama dengan Cina dan karenanya sering menggolongkan Tionghoa sebagai “warga keturunan”? Apa maksudnya “keturunan”? Dan apakah ada di antara kita yang bukan “keturunan”? Tahu pastikah kita bahwa nenek-moyang kita sejak dulu tak pernah kawin-mawin dengan para pendatang dari RRT, atau juga dari India, Arab, Inggris, Belanda, Portugis, dan bangsa-bangsa asing lain yang datang ke Nusantara di abad-abad awal Masehi?
Orang Tionghoa yang berstatus WNI jelas merupakan bagian dari Orang Indonesia. Nenek-moyang mereka memang berasal dari Negeri Tiongkok, namun sudah berabad-abad lamanya beramalgamasi (kawin-campur antarorang dengan kebudayaan berbeda) dan berakulturasi (bertemunya berbagai kebudayaan yang kelak melahirkan unsur-unsur kebudayaan baru) di sini. Maka, secara antropologis mereka pun telah menjadi etnik baru di tengah kehidupan berbangsa Indonesia yang pluralistik ini.
Istilah Cina sendiri, harus diketahui, sudah dihapuskan secara resmi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Keppres No. 12 Tahun 2014 yang diteken pada 14 Maret 2014. Keppres tersebut memutuskan tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Melalui keppres itu, Presiden SBY mengganti istilah “China” dengan “Tionghoa”.
Pertimbangannya, karena istilah “Tjina” telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam hubungan sosial warga bangsa Indonesia dengan keturunan Tionghoa. SBY menilai, pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap seseorang, kelompok, komunitas dan/atau ras tertentu pada dasarnya melanggar nilai atau prinsip perlindungan hak asasi manusia (HAM). “Itu bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM, dan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,” demikian bunyi pertimbangannya. Sedangkan nama Negara Republik Rakyat Cina (RRC) selanjutnya diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok (RRT).Sekarang mestinya kita semua sadar bahwa ”politik belah bambu” yang dimainkan oleh rezim Soeharto di masa silam nan kelam itu adalah strategi busuk yang rawan memecah-belah bangsa Indonesia. Dulu Soeharto merepresi hak-hak politik dan budaya warga Tionghoa, namun memberi ruang gerak di sektor bisnis dengan maksud menjadikan Tionghoa sebagai ”sapi perah ekonomi” untuk kepentingan Soeharto dan kroni-kroninya. Sekarang semua itu sudah berlalu. Politik Indonesia telah makin modern dan rasional. Kita semua, siapa dan dari mana pun nenek-moyangnya, adalah WNI yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Maka, sekarang dan ke depan, semua sentimen primordial itu haruslah dikubur dalam-dalam demi terwujudnya Indonesia Baru yang adil dan sejahtera, yang sungguh-sungguh menjadi Tanah Air dan rumah kita semua.
Jadi siapa pun, baik individu maupun kelompok, hendaknya tidak lagi menyebut-nyebut “Cina” kepada Ahok maupun orang-orang lainnya dari golongan Tionghoa. Pro atau kontra kepada Ahok sebagai Gubernur DKI, itu soal lain. Yang jelas dan tak bisa disangkal bahwa Ahok adalah bagian dari kita, sesama WNI. Maka kalau ada yang masih juga menyebut demikian, anggap saja orang itu kurang berwawasan. Masih dimaklumi kalau ia bukan politisi. Tapi kalau politisi, dan wakil rakyat pula, sungguh mencengangkan kalau ia tidak tahu ada Keppres No. 12 Tahun 2014 itu.
Terkait itulah kita patut mendukung LBH Pendidikan yang melaporkan oknum anggota DPRD DKI ke Polda Metro Jaya terkait keributan saat mediasi antara Pemprov DKI dan DPRD DKI 5 Maret itu. Menurut Direktur LBH Pendidikan Ayat Hadiyat, oknum anggota DPRD itu disangkakan melakukan pidana dengan Pasal 156 KUHP dan atau Pasal 4 huruf b angka 2 jo Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pasal 16 UU tersebut menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis bisa dipidana.
Bagaimana kelanjutannya nanti, kita tunggu dan lihat saja. Yang pasti kita harus belajar dari kesalahan masa lalu untuk tidak mengulanginya lagi di masa mendatang.
Penulis adalah dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...