Drooglever, Sejarawan yang Ungkap Kecurangan Pepera, Meninggal
LONDON, SATUHARAPAN.COM - Pieter Drooglever, sejarawan Belanda yang dikenal lewat bukunya yang mengungkap kecurangan proses Pentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Papua, meninggal dunia.
Meninggalnya penulis buku An Act of Free Choice itu diketahui dari siaran pers Juru Bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda, yang mengungkapkan dukacita mendalam pada 15 November lalu.
"Dengan berat hati saya memperoleh kabar kematian tragis dari Profesor Pieter Drooglever, seorang ilmuwan Belanda terkenal di dunia, penulis dan sahabat sejati Papua," tulis Benny Wenda, lewat akun Facebooknya.
"Profesor Drooglever adalah orang yang saya kenal secara pribadi dan dia memiliki pikiran cemerlang dan hati yang sangat baik terhadap Papua, terutama dalam memahami sejarah, situasi dan akar penyebab penderitaan (mereka)," tulis Benny Wenda.
Tidak dijelaskan kapan persisnya Drooglever meninggal dan dalam keadaan bagaimana. Namun kabar meninggalnya Drooglever dibenarkan oleh peneliti LIPI, Adriana Elisabeth.
"Kalau tidak salah meninggalnya hari Minggu yang lalu (12/11)," kata Adriana Elisabeth, peneliti yang banyak berkecimpung meneliti Papua dan salah seorang penulis dan penyunting buku Papua Road Map (PRM), kajian LIPI tentang konflik di Papua.
Meninggalnya sejarawan ini merupakan kehilangan besar bagi kalangan yang ingin mempelajari sejarah Papua secara kritis.
"Saya tidak begitu mengenal beliau. Tetapi dia seorang Indonesianis yang objektif dan konsisten mengikuti perkembangan politik Indonesia, termasuk Papua. Seingat saya di buku terakhirnya dia mengutip PRM yang ditulis oleh tim LIPI. Tentu bukan karena salah seorang lenulis buku itu Dr Muridan S. Widjojo kenal dengan Drooglever, namun karena menurut dia bahwa PRM merupakan masukan akademis untuk penyelesaian Papua yang perlu mendapat perhatian," kata Adriana kepada satuharapan.com.
Di Indonesia, sosok Drooglever kerap dianggap kontroversial setelah ia menerbitkan An Act of Free Choice, pada 2005, yang merupakan sebuah buku sejarah yang menginvestigasi proses Pepera pada 1969. Di mata sejumlah kalangan, buku tersebut banyak mengungkap kecurangan proses Pepera, yang selama ini tidak dapat ditemukan pada narasi sejarah formal Indonesia. Drooglever bahkan sempat dicekal masuk ke Indonesia.
Almarhum Muridan S. Widjojo, peneliti LIPI yang semasa hidupnya merupakan koordinator Jaringan Damai Papua (JDP), mengakui bahwa buku Drooglever sempat menjadi simbol sekaligus harapan pelurusan sejarah integrasi Papua ke Indonesia.
"Memang banyak orang Papua pro-merdeka pada masa itu berharap bahwa peluncuran buku itu akan mendorong lebih cepat perjuangan kemerdekaan Papua," tulis Muridan dalam blognya, Diary of Papua.
Drooglever merupakan profesor yang berpengalaman selama tiga dekade memimpin proyek pendokumentasian dekolonisasi Indonesia pada Institut Sejarah Belanda (Instituut voor Nederlands Geschiedenis) di Den Haag. Menurut Muridan, pada 1980-an dia berjasa mengembangkan proyek Indonesia-Belanda untuk kerjasama budaya kedua negara. Di dalam bukunya tentang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, menurut Muridan, Drooglever berusaha secara detil menunjukkan proses sebelum, pada saat, dan sesudah Pepera.
"Kesimpulan umumnya, Pepera diwarnai oleh kecurangan dan kekerasan oleh militer Indonesia," tulis Muridan.
Muridan mengatakan buku Drooglever sesungguhnya lebih bermakna akademis ketimbang politis. Kalangan sejarawan tidak ada yang mempersoalkan isi buku itu. "....tetapi pemerintah Indonesia menentang proyek buku tersebut. Bahkan Prof Drooglever tidak diizinkan melakukan kegiatan penelitiannya di Indonsia. Sementara pemerintah Belanda menyadari reaksi negatif pemerintah Indonesia, tidak menunjukkan apresiasinya terhadap buku tersebut."
Pepera dan Pelanggaran HAM
Buku Drooglever telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri dan diterbitkan oleh Penerbit Kanisius Yogyakarta pada tahun 2010.
Aktivis HAM Papua, Yan Christian Warinussy, menilai awal pelanggaran HAM di Papua yang bermula dari Pepera 1969 terungkap lewat buku Drooglever.
Dalam sebuah tulisannya yang dimuat oleh Suara Papua, 29 Juli 2017, Yan Christian mengutip isi buku Drooglever yang menyajikan laporan sejumlah wartawan. Di antaranya adalah laporan Peter R. Kann dari The Wall Street Journal, yang memberitakan bahwa seorang perwira TNI mengatakan bahwa apabila orang Papua memilih berpisah dari Indonesia, mereka akan menghadapi 115 juta orang Indonesia.
Selain itu ada laporan wartawan Australia, Joseph Halloway, yang terkesan bahwa banyak orang muda Papua (pada masa Pepera) mengambil risiko dipenjarakan dan dianiaya demi kemerdekaan Papua.
Drooglever juga menyajikan laporan wartawan AAP-Reuters, Hugh Lunn, yang menggambarkan 100 orang di luar area Pepera pada 1969, berteriak menyuarakan tuntutan kemerdekaan yang kemudian dipentungi oleh petugas.
Hugh Lunn juga melaporkan bahwa di Nabire, orang-orang yang dipilih untuk memberi suara, dikurung berminggu-minggu lamanya di dalam sebuah kapal yang berlabuh di depan pantai.
Sementara itu, Socratez Sofyan Yoman, rohaniawan dari Gereja Baptis Papua, yang kritis terhadap Pepera 1969, menggarisbawahi isi buku Drooglever tentang laporan akhir Sekjen PBB mengenai Pepera.
Socratez mengatakan Drooglever menyimpulkan bahwa “Laporan akhir Sekjen PBB seluruhnya didasarkan pada laporan Ortiz Sanz tentang peranannya dalam pelaksanaan Kegiatan Pemilihan Bebas. Laporan ini hanya berisi kritik yang lemah terhadap oposisi dari pihak Indonesia. Atas dasar ini, U. Thant (Sekjen PBB) tidak bisa berbuat lain kecuali menyimpulkan bahwa suatu (an) Kegiatan Pemilihan Bebas telah dilaksanakan. Ia (U Thant) tidak bisa menggunakan kata depan yang tegas (the), karena nilai-nilai proses itu jauh di bawah standar yang diatur dalam Persetujuan New York."
Socratez mengutip Drooglever dalam tulisannya untuk satuharapan berjudul Sejarah yang Dipalsukan, bahwa “menurut pendapat para pengamat Barat dan orang-orang Papua yang bersuara mengenai hal ini, tindakan Pilihan Bebas (Pepera) berakhir dengan kepalsuan, sementara sekelompok pemilih yang berada di bawah tekanan luar biasa tampaknya memilih secara mutlak untuk mendukung Indonesia.”
Optimis akan Masa Depan Papua
Kendati banyak yang berpendapat bahwa Drooglever mendukung kemerdekaan Papua, Muridan S. Widjojo menilai berbeda. Menurut dia, Drooglever juga memiliki optimisme Papua tetap berada di dalam Indonesia. Hal itu ia yakini dari paragraf akhir bab kesimpulan dari buku yang ditulis Drooglever.
Drooglever menulis “Kemungkinan-kemungkinan masa depan Papua yang lebih baik dapat ditemukan dalam kepentingan Indonesia di daerah tersebut, sebab Indonesia tidak hanya memiliki tradisi militer dan pemerintah otoriter, tapi juga interaksi yang berbudaya dan upaya untuk membangun pemerintahan yang baik.”
Bagi Muridan, ini secara implisit merupakan cara Drooglever melihat separuh optimisme bahwa masih ada kemungkinan masa depan Papua yang lebih baik di dalam Indonesia. “Suatu jalan keluar yang mengombinasikan masa depan yang lebih baik bagi orang Papua dengan regulasi yang tepat terhadap perbatasan bagian timur Indonesia seharusnya ditemukan. Meskipun demikian tampaknya sulit mengombinasikan jendela keterbukaan ke Pasifik dengan penduduk yang selalu protes, disalahpahami dan diperlakukan dengan buruk di bagian garis bujur 1410 Indonesia.”
Editor : Eben E. Siadari
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...