Dua Kabupaten Sumatera Barat Larang Ibadah dan Perayaan Natal
SUMATERA BARAT, SATUHARAPAN.COM – Perayaan Natal dan Tahun Baru 2020 tidak dapat dinikmati oleh umat Nasrani di Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya dan Nagari Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Bukan hanya perayaan Natal dan Tahun Baru, umat Kristen Protestan dan Katolik di dua kabupaten itu juga tak bisa melakukan ibadah layaknya umat beragama lainnya.
Berdasarkan rapat, pemerintahan Nagari (kelurahan) Sungai Tambang baru-baru ini, yang terdiri atas ninik mamak (penghulu adat), tokoh masyarakat, dan pemuda setempat, tidak mengizinkan kegiatan ibadah dalam bentuk apa pun secara bersama-sama termasuk perayaan Natal.
Pemerintahan nagari dan ninik mamak juga meminta agar orang-orang Kristen di Sijunjung membuat surat perjanjian tidak melaksanakan ibadah apa pun, termasuk Natal.
Larangan melakukan ibadah dan perayaan Natal wilayah itu sudah berlangsung lama. Setiap tahun, umat Nasrani di dua kabupaten tersebut, kerap ditolak untuk melakukan ibadah secara berjemaah. Hal itu diungkapkan oleh salah seorang jemaat dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Sungai Tambang, Andi (bukan nama sebenarnya). Di wilayahnya bermukim terdapat tiga denominasi HKBP dengan umat terdata 120 kartu keluarga (KK), Katolik 60 KK, dan Gereja Bethel Indonesia sekitar 30 KK.
"Memang dari awal kami selalu ditolak tapi kami belum mau banyak bicara ke publik, karena kami juga mengusahakan bagaimana bernegosiasi. Jemaat sudah terlalu jenuh dengan hal-hal begini," kata Andi saat dihubungi VOA, Selasa (17/12) malam.
Ia menambakan, penolakan ibadah umat Nasrani di dua kabupaten tersebut sudah terjadi sejak awal tahun 2000. Kata dia, sekelompok warga menolak pelaksanaan ibadah dan pernah membakar rumah yang digunakan sebagai tempat kebaktian umat Katolik.
Akibat pembakaran rumah tersebut, umat Katolik antara tahun 2004 hingga 2009 di Jorong Kampung Baru, tidak dapat melaksanakan kebaktian secara berjamaah. Umat Katolik hanya melaksanakan kebaktian secara pribadi di rumah masing-masing.
"Intinya kemarin itu ya jelas mereka menolak, bukan hanya sebatas ibadah Natal. Tapi semua bentuk ibadah. Mereka izinkan kalau ibadah di rumah masing-masing. Bagaimana mungkin ada izin ibadah di rumah, itu konyol. Mereka tidak pernah izinkan ibadah berjemaah. Kalau kami ingin beribadah jemaah maka harus di tempat ibadah yang resmi. Itu sama saja dengan menolak, bagaimana resmi mereka tidak izinkan," kata Andi.
Tiga Denominasi Dilarang Ibadah di Masing-Masing Komunitas
Tidak sampai di situ, setiap tahun tiga denominasi tersebut selalu ditolak untuk melakukan ibadah berjamaah pada masing-masing komunitasnya.
Beberapa tahun lalu, mereka terpaksa membayar denda dua ekor kambing, karena dituduh melanggar ketentuan adat memaksa melaksanakan ibadah berjamaah bagi umat Kristen.
"Secara pribadi melihat ini dampak dari otonomi daerah. Memang benar ada undang-undang yang melindungi semua masyarakat Indonesia dengan latar belakang agamanya yang diakui bahkan aliran kepercayaan. Namun, ketika kembali ke otonomi daerah, tentu seakan-akan yang dikedepankan adalah kebijakan di masing-masing daerah. Dengan alasan itu muncul penolakan-penolakan terhadap tempat ibadah bahkan secara pribadi, seperti di Sumatera Barat. Saat ini atas dasar kearifan lokal mereka menolak ibadah dan tempat ibadah. Lucu saja, ternyata tidak semua masyarakat Indonesia memahami soal Bhinneka Tunggal Ika," kata Andi.
Umat Katholik Terpaksa Beribadah Secara Sembunyi-Sembunyi
Keluhan yang sama tentang larangan ibadah dan perayaan Natal juga disampaikan salah seorang jemaat umat Katolik di Sungai Tambang, berinisial NE. Kata dia, selama ini mereka kerap beribadah dari satu rumah umat ke tempat lainnya secara diam-diam.
"Ninik mamak mengatakan tidak mengizinkan karena ini pemerintahan sudah kembali ke nagari. Maka ninik mamak di nagari memiliki kuasa untuk melarang, kata mereka seperti itu. Sudah lama kita hidup berdampingan di sini dengan masyarakat sekitar kami. Tidak ada masalah di sekitar sini tapi kenapa bisa dari tokoh masyarakat yang hampir enggak pernah berjumpa dengan kami, bisa terjadi hal seperti ini (larangan). Sementara dari masyarakat sekitar tempat kami tinggal tidak ada masalah," kata NE.
Sementara itu, pastor yang ada di Dharmasraya, Rama Freli Pasaribu mengatakan, larangan ibadah dan perayaan Natal juga terjadi di wilayahnya. Awal mula umat Kristen di Nagari Sikabau mengeluarkan surat pemberitahuan perihal pelaksanaan ibadah Natal dan Tahun Baru 2020. Namun pihak pemerintahan Nagari Sikabau merasa keberatan dan tidak memberikan izin pelaksanaan kegiatan ibadah perayaan Natal di wilayah itu.
"Tahun lalu pernah juga buat seperti itu lalu mereka tersinggung, sehingga tidak diizinkan. Tahun ini bukan saja kepada pihak keamanan kami buat, tapi juga kepada pemerintah camat, wali nagari, dan ninik mamak kita berikan justru di situ yang menjadi blunder. Sepertinya dicari-cari masalah, padahal kami menghargai ninik mamak setempat, pemerintah, dan pihak keamanan agar bisa menjaga kami," kata Freli.
"Tapi kenyataannya, kemarin meraka rapat dan memutuskan tidak boleh dan sudah dikeluarkan oleh pihak wali nagari (lurah) di Sikabau, enggak boleh mengadakan perayaan Natal dan Tahun Baru serta ibadah lainnya. Hanya boleh merayakan Natal di rumah pribadi,” katanya.
Menurut Freli, adanya larangan ibadah dan perayaan Natal di Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Sijunjung, membuat umat Nasrani di dua wilayah tersebut seperti mendapat diskriminasi.
"Dengan adanya pelarangan ibadah itu merasa kecewa dengan pemerintah setempat dan ninik mamak karena kita ini negara Pancasila," katanya.
Sementara program manager dari Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka) Padang, Sudarto mengatakan dalam keterangan resminya yang diterima VOA, pelarangan perayaan Natal 2019 terjadi justru setelah salah seorang oknum polisi dari Polsek Kamang Baru di Kabupaten Sijunjung, meminta agar umat Katolik yang ingin melaksanakan ibadah harus terlebih dahulu membuat surat izin kepada pemerintahan nagari.
"Mereka mengadakan rapat koordinasi dengan perangkat nagari, ninik mamak, tokoh masyarakat setempat. Namun hasil dari rapat koordinasi pada 16 Desember 2019, menyepakati sepihak beberapa hal seperti menolak pelaksanaan ibadah apa pun termasuk Natal bersama jika tidak di tempat ibadah resmi. Ibadah termasuk perayaan Natal hanya boleh dilaksanakan di rumah masing- masing dan tidak boleh bersama-sama," tulis Sudarto dalam keterangan resminya.
Dengan kondisi itu dapat dikatakan bahwa tingkat kerukunan antar umat beragama di Sumatera Barat tidak sedang baik-baik saja. (voaindonesia.com)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...