Dubes Inggris Dukung Dialog Jakarta-Papua
MANOKWARI, SATUHARAPAN.COM - Duta Besar (Dubes) Kerajaan Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik dalam kunjungannya ke Manokwari,Provinsi Papua Barat, mendukung pendekatan dialogis dalam menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi di Papua dan Papua Barat, termasuk konflik-konflik yang berujung kekerasan seperti halnya di Tembagapura-Kabupaten Mimika-Provinsi Papua.
Hal ini dikatakan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, seusai mengadakan pertemuan dengan Dubes Inggris di sebuah kafe di Manggoapi, Manokwari pada hari Yan Christian beserta tim LP3BH bertemu dan bercakap-cakap dengan Dubes sekitar satu jam. Pada pertemuan itu, menurut Yan Christian, Moazzam Malik, menanyakan perkembangan situasi politik, ekonomi, sosial, budaya dan kemasyarakatan yang terjadi dalam kurun waktu setahun terakhir di Manokwari dan Papua Barat secara umum.
Terkait dengan rencana dialog Jakarta-Papua, Warinussy yang merupakan salah satu tokoh Papua yang diundang Jokowi ke Istana Negara beberapa lalu, menjelaskan bahwa pertemuan dengan Jokowi menghasilkan "perintah" dengan menunjuk 3 (tiga) orang person in chrage (tokoh dialog) guna menjalankan kebijakan Presiden. Ketiganya adalah Pater Neles Tebay, Wiranto dan Teten Masduki.
Namun menurut Warinussy, nampaknya koordinasi diantara ketiga orang tokoh dialog Papua-Jakarta tersebut belum berjalan maksimal, bahkan diduga komunikasi mereka dengan Presiden Jokowi tidak berjalan baik. Akibatnya, tujuan utama untuk membantu pemerintah dalam mendorong upaya damai dalam menyelesaikan konflik dan kekerasan di Tanah Papua pasca pertemuan Agustus lalu hingga kini belum nampak tindak-lanjutnya yang diharapkan.
Menurut Warinussy, Dubes Moazzam Malik memberi perhatian penuh dan berkomitmen akan membantu menyampaikan hal tersebut kepada Presiden Jokowi dan pemerintah pusat di Jakarta.
Dalam pertemuan dengan wartawan di Jayapura pada kesempatan lain, Moazzam Malik kembali menegaskan dukungannya pada dialog tersebut.
“Kami mendukung dialog yang diwakili Pater Neles Tebay, Wiranto, dan Teten Masduki. Ini sangat baik untuk mendengar aspirasi masyarakat Papua. Walau kebijakan pemerintah pusat sudah tepat, hanya implementasinya masih rendah. Ya, mungkin ada kepentingan lain yang menghambat arahan Jokowi,” kata Malik, dikutip dari Kompas.
Kemajuan Papua masih Sebatas Jalan dan Gedung
Di bagian lain percakapannya dengan wartawan, Dubes Inggris mengatakan ia kesulitan mendapatkan informasi yang benar tentang Papua. “Saya sangat tertarik ingin mengetahui tentang Papua. Selama ini informasi saya dapat di media tentang Papua sehingga kurang jelas kebenarannya. Kalau saya ajak bicara dengan para pejabat tinggi dan politisi di pusat, mereka tak banyak yang tertarik membahas tentang Papua,” ujar Malik.
Lebih jauh, Malik mengatakan, pada masa kepemimpinan Joko Widodo, tampak ada beberapa kemajuan di Papua. Namun, ia mengatakan itu hanya sebatas jalan, gedung-gedung megah, dan perkantoran yang tampak maju.
“Kalau dilihat dari indikator sosial, orang asli Papua masih sangat miskin. Apalagi mengenai kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan yang mereka peroleh masih sangat sulit dibanding suku lain,” kata dia.
Malik menambahkan, kehadiran dana otonomi khusus di Papua yang mencapai Rp 40 triliun per tahun sangat bermanfaat untuk pembangunan di sana. Akan tetapi, dana itu belum terlihat maksimal digunakan, khususnya untuk memberdayakan masyarakat asli Papua itu sendiri.
Malik tak menepis bahwa di Papua saat ini sudah ada puskesmas, rumah sakit, sekolah, dan fasilitas publik lainnya. Namun, perhatian pemerintah pusat dan pemerintah daerah di semua kabupaten dan kota di Papua belum kelihatan mempermudah masyarakat asli untuk mengakses fasilitas yang disiapkan.
“Saya pikir perlu ada pemeriksaan dan audit semua dana yang masuk ke Papua. KPK perlu memperhatikan semua kasus dugaan korupsi di Papua," tutur dia.
Lebih jauh, Malik berpesan agar pemerintah pusat mendengarkan aspirasi dari masyarakat asli Papua karena Indonesia adalah demokrasi yang tak jauh berbeda dari negara asalnya.
“Aspirasi mereka harus dihormati dan harus dipenuhi, ini pertanggungjawaban pusat dan pemerintah daerah. Saya melihat Bapak Jokowi berkomitmen untuk membangun Papua dan beliau berkunjung ke Papua lebih sering dibanding mantan presiden,” ucap dia.
Malik menambahkan, kebijakan Presiden Jokowi untuk Papua cukup bijaksana, di antaranya kasus HAM yang menjadi isu besar diminta untuk diatasi dan beberapa tahanan politik dibebaskan. Namun, dialog pemerintah pusat dengan Papua yang menjadi kebijakan Presiden belum terlaksana.
Tidak Memperoleh Kesempatan
Sementara itu dalam pertemuan dengan tim LP3BH, Yan Warinussy menjawab pertanyaan yang diajukan Malik dengan menjelaskan bahwa di tengah pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Papua Barat, masyarakat asli Papua senantiasa mengalami situasi tidak memperoleh ruang, kesempatan dan pemenuhan hak-hak dasarnya secara baik.
Ia memberi contoh dalam aspek akses pelayanan kesehatan. Di Papua, sesuai dengan kebijakan otonomi khusus lewat Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001, setiap warga masyarakat asli Papua yang mengalami sakit dan berobat ke rumah sakit memperoleh semua akses pelayanan secara gratis. Namun, ini tidak berlaku di Papua Barat. Ia menunjuk satu kasus di Manokwari, ketika seorang pasien Orang Asli Papua (OAP) datang ke RSUD, dia harus mengeluarkan biaya untuk membayar infus, obat, ruang perawatan hingga tenaga dokter dan segenap bentuk tindakan medis yang terjadi sejak dari ruang instalasi gawat darurat (IGD) sampai keluar dari rumah sakit.
"Ini menjadi pertanyaan kenapa beda perlakuan tersebut? Padahal sama-sama (Papua dan Papua Barat) berlaku UU No.21 Tahun 2001 dan UU No.35 Tahun 2008," tutur dia. Padahal menurut UU Otsus pasal 26 ayat 2, seluruh biaya sudah ditanggulangi oleh pemerintah, termasuk jika dirujuk ke Jakarta maka akan ditangani di Rumah Sakit Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (RS PGI) Cikini dengan seluruh beban biaya pada alokasi anggaran 15 persen dari dana Otsus.
Sementara itu Dr.Agus Sumule selaku Dekan Fapertek Universitas Papua dan Wakil Ketua Badan Pengurus LP3BH menambahkan bahwa hingga hari ini, Papua Barat belum memiliki Rumah Sakit (RS) yang baik sesuai standar pelayanan kesehatan yang berkualitas, misalnya RS tipe A.
Sedangkan Kepala Divisi Advokasi Hak Perempuan dan Anak LP3BH Advokat Thresje Juliantty Gasperzs memberi informasi kepada Dubes Malik mengenai meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT/domestic violance) di Papua Barat yang dipicu oleh faktor ekonomi.
Banyak terjadi kasus KDRT tidak saja terhadap perempuan dewasa tapi juga terhadap anak dalam bentuk penganiayaan, percabulan dan atau kekerasan seksual dan pemerkosaan. Semua ini dipicu oleh minuman keras, narkoba dan lem aibon/fox.
Turut hadir dalam pertemuan ini Kepala Divisi Pelayanan Hukum LP3BH Advokat Simon Banundi serta tokoh masyarakat Provinsi Papua Barat Drs William Abraham Ramar dan Wempi Kambu yang juga memberikan kontribusi pemikiran mengenai cara-cara penyelesaian berbagai masalah di Tanah Papua dan khusus Papua Barat secara damai dan bermartabat.
Editor : Eben E. Siadari
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...