Dugaan Pencatutan Nama Bukan Kasus Pertama Setya Novanto
SATUHARAPAN.COM – Nama Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Setya Novanto bertubi-tubi disebut dalam serangkaian kasus. Sebenarnya nama Setya sudah disebut di beberapa kasus besar sebelum jadi Ketua DPR dan saat menjabat. Apa saja kasus yang membelitnya? Di bawah ini beberapa kasus yang membelit Setya Novanto,
Kasus Cessie Bank Bali
Skandal Cessie Bank Bali terjadi pada 1997-2000. Kala itu pemilik Bank Bali Rudy Ramli, kesulitan menagih piutangnya di Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Umum Nasional, dan Bank Tiara sebesar Rp 3 triliun. Tagihan tak bisa dibayar hingga ketiga bank itu masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Rudy lantas menyewa jasa PT Era Giat Prima. Di perusahaan ini Joko Tjandra duduk sebagai direktur dan Setya Novanto sebagai direktur utamanya. Perjanjian pengalihan hak tagih (cessie) diteken pada Januari 1999. PT Era Giat Prima mengantongi separuhnya. Setya Novanto kemudian menggugat Bank Bali secara perdata karena tidak mau mengucurkan komisi sebesar Rp 546 miliar. Pada April 2000, pengadilan menyatakan Setya Novanto dan PT Era Giat Prima berhak atas uang komisi itu. Kasus tidak berhenti sampai di situ karena keputusan tersebut digugat ke Mahkamah Agung. Dalam keputusannya, MA menyatakan uang komisi itu menjadi milik Bank Bali.
Dalam kasus itu hanya Joko Tjandra, Pande Lubis (Wakil Ketua BPPN) dan Syahril Sabirin (Gubernur BI) yang divonis bersalah oleh pengadilan. Sedangkan Setya Novanto dan Rudy Ramli bebas.
Kasus Beras Impor
Pada 2006, Setya Novanto diperiksa sebagai saksi perkara dugaan korupsi impor beras ilegal sebanyak 60.000 ton dari Vietnam. Tersangkanya adalah mantan pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Sofjan Permana dan Direktur Utama PT Hexatama Finindo, Gordianus Setyo Lelono. Gordianus disebut- sebut punya hubungan saudara dengan Novanto. Namun karena alasan tak ada bukti Kejagung menerbitkan perintah penghentian penyidikan.
Kasus Akil Mochtar
Setya pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap, gratifikasi, dan pencucian uang terkait sengketa pilkada. Kasus ini melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, yang juga mantan politikus Partai Golkar.
Dalam persidangan itu terungkap adanya pesan BlackBerry (BBM)Pesan BBM tersebut berisi permintaan uang Rp 10 miliar dari Akil kepada Zainuddin (ketua Dewan Pimpinan Daerah Golkar Jatim). Menurut transkrip BBM, Akil mengungkapkan bahwa dirinya merasa dibohongi oleh Idrus karena awalnya bersedia menyiapkan dana melalui Setya Novanto dan Nirwan B. Sayangnya, sebelum kesepakatan tersebut tidak terlaksana, penyidik KPK menangkap Akil bersama dengan politikus Golkar lain, Chairun Nisa, dan pengusaha Cornelis Nalau yang datang ke rumah dinas Akil, untuk mengantarkan uang suap terkait Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Saat dikonfirmasi mengenai pesan BBM ini dalam persidangan, baik Setya maupun Idrus membantah adanya permintaan uang dari Akil. Bersama Sekjen Idrus Marham, ia diperiksa sebagai saksi. Setya Novanto tetap bebas, sementara Akil Mochtar dipenjara.
Kasus E-KTP
Setya juga terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan paket penerapan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) di Kementerian Dalam Negeri. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin menyebut Setya dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai pengendali proyek e-KTP. Nazaruddin menuding Setya telah membagi fee proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR. Setya juga disebut telah merekayasa perencanaan dan anggaran proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut, bahkan menyebut Setya Novanto menerima aliran dana Rp 300 miliar untuk proyek tersebut
Terkait pengadaan e-KTP, KPK menetapkan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Sugiharto sebagai tersangka. Sejauh ini, KPK belum pernah memeriksa Setya sebagai saksi terkait dengan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP dengan tersangka Sugiharto.
Kasus Proyek PON
2013-2014: Kasus suap pembangunan venue Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII dengan tersangka mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal. Dugaan keterlibatan Setya dan anggota DPR Kahar Muzakir dalam kasus PON Riau terungkap melalui kesaksian mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau, Lukman Abbas, di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Riau. Saat itu, Lukman mengaku telah menyerahkan uang senilai 1.050.000 dollar AS kepada Kahar, anggota Komisi X DPR dari Partai Golkar. Penyerahan uang merupakan langkah permintaan bantuan PON dari dana APBN senilai Rp 290 miliar. Proposal itu disampaikan Rusli kepada Setya yang saat itu merupakan Ketua Fraksi Partai Golkar. Pertemuan di ruangannya tersebut pernah diakui Setya. Namun, menurut Setya, pertemuan itu bukan membicarakan masalah PON, melainkan acara di DPP Partai Golkar. Rusli selanjutnya divonis 10 tahun penjara, sedang Novanto bebas.
Kasus Donald Trump
September-Oktober 2015 publik Indonesia dikagetkan video Kehadiran Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon, dalam sebuah acara politik Donald Trump. Kasus itu dianggap memalukan Indonesia. Video ini menuai sentimen negatif di media sosial. Namun oleh Majelis Kehormatan DPR (MKD) Setya dan Fadli Zon hanya diberi teguran.
Kasus Makelar Freeport
November 2015: Menteri ESDM Sudirman Said menyebut ada yang menjual nama Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla kepada Freeport. Setya dituding mencatut nama Presiden Joko Widodo dalam perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia, dengan meminta saham PT Freeport Indonesia. Novanto juga diduga menagih pembayaran kepada PT Pertamina terkait biaya penyimpanan bahan bakar Minyak (BBM) yang disimpan oleh PT Orbit Terminal Merak (OTM). (dbs)
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...