Editor Media Utama Dunia Kritik Turki Kekang Kebebasan Pers
WASHINGTON, SATUHARAPAN.COM - Sekitar 50 editor dari media utama dunia memberikan perhatian atas kebebasan pers di Turki dan mendesak Presiden Turki, Recep Erdogan, untuk menghargai independensi dan kritik media massa.
Asosiasi Koran dan Publikasi Berita Dunia (WAN-IFRA) yang mengoordinasikan surat terbuka dan mendorong para editor di dunia untuk memublikasikannya agar membantu melepaskan tekanan dari otoritas Turki untuk menjunjung tinggi kebebasan pers.
"Kolega kami dan teman-teman di Turki butuh dukungan kita, sekarang lebih daripada sebelumnya," kata WAN-IFRA dalam keterangan persnya Jumat (30/10) seperti dilaporkan Kantor Berita Turki, Cihan.
Pihak yang menandatangani surat terbuka, seperti New York Times, Washington Post, Seddeutsche Zeitung, dan Agence France-Presse, yang ditujukan kepada Erdogan merasa makin khawatir apa yang mereka katakan memburuknya kondisi bagi kebebasan pers di Turki, hanya beberapa hari sebelum pemilihan umum yang dijadwalkan pada 1 November 2015.
Dalam pernyataan yang dikirimkan kepada editor media di dunia, WAN-IFRA mengingatkan bahwa media yang independendan kritis menentang pemerintah di Turki, menjadi sasaran "serangan terus menerus" pemerintah.
Mereka mencatat sejumlah jurnalis Turki telah dipenjarakan, perusahaan media diserang, dan komentar pedas mengenai peran media sering terdengar.
"Minggu ini saja, sebuah kelompok media yang beroposisi ditangkap dan wartawan yang meliput peristiwa diserang," kata pernyataan tersebut.
Para penandatangan tersebut di antaranya Dean Baquet, selaku editor eksekutif The New York Times, Michele Leridon, editor berita global AFP, Shane Smith pendiri VICE Media, Mario Calabresi, Pemimpin Redaksi La Stampa, Wolfgang Krach, jajaran pemimpin redaksi Seddeutsche Zeitung, David Remnick, editor New Yorker, Zaffar Abbas, editor Dawn, dan Martin Baron, editor eksekutif Washington Post.
Para editor mengingatkan insiden dua bulan lalu yang meresahkan, termasuk juga serangan fisik terhadap koran dan wartawan vokal.
Surat tersebut menyatakan bahwa penyitaan Koza-Ipek Media Holding, penahanan tiga wartawan yang bekerja pada Vice News, dan pelanggaran hukum lainnya menjadi penyebab keprihatinan.
"Kami mendesak Anda agar menggunakan pengaruh Anda untuk menjamin wartawan, apakah mereka warga Turki atau anggota pers internasional, harus dilindungi dan diizinkan untuk bekerja tanpa hambatan," kata editor meminta Erdogan, yang dikenal sebagai pemimpin terburuk dalam menghormati kritik media.
Para editor menandai situasi media sebagai "musim intimidasi" dan mengatakan di sana ada kekhawatiran tinggi dari "budaya impunitas" yang berfungsi untuk menghilangkan wartawan dari pengamanan yang diperlukan dalam melakukan pekerjaan penting mereka dan membuat mereka rentan terhadap intimidasi dan bahkan kerusakan fisik.
Masyarakat Turki akan mengikuti jajak pendapat pada Minggu dan para pengamat menyatakan bahwa pemilihan umum tidak akan adil, mengingat distribusi penyiaran kampanye yang tidak merata serta tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap media yang kritis.
Pada hari Selasa (27/10) contohnya, polisi anti huru-hara Turki menyerbu kantor pusat Ipek Media Holding, menyita dua koran, dua saluran televisi, dan sebuah saluran radio.
Pada hari Jumat (30/10) media tetap melakukan penyiaran dan publikasi mereka, sekalipun di bawah pengawasan ketat pemerintah. Halaman depan kedua koran tersebut dihiasi gambar Erdogan dan Perdana Menteri Ahmet Davutoglu.
Pengambilalihan media memicu kritik luas dari dunia. Uni Eropa dan Amerika Serikat mengecam keras penyitaan tersebut, sementara Freedom House mengatakan "penyensoran" merusak kejujuran pemilu. (Ant/AFP).
Editor : Eben E. Siadari
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...