Efek Tolikara
SATUHARAPAN.COM – Insiden Tolikara punya efek negatif dan positif. Namun, akar persoalan utama harus tetap diselesaikan.
Pada Jumat, 17 Juli 2015, saat Idul Fitri, terjadi kerusuhan di Kabupaten Tolikara, Papua. Sekelompok umat Kristen dari Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) berusaha menghentikan ibadah Salat Id yang sedang dilakukan umat Islam di halaman Markas Militer (Koramil) 1702 Karubaga di depan tempat pelaksanaan acara Seminar-KKR yang diselenggarakan GIDI. Mereka melakukan pelemparan batu yang dicegah oleh aparat keamanan dengan antara lain penembakan yang berakibat sebelas warga peyerang terluka dan seorang tewas. Penembakan itu membuat masyarakat marah dan membakar kios-kios dan sebuah mushala.
Kerusuhan tersebut cepat tersebar di berbagai media dengan menyebutnya sebagai kerusuhan di mana umat Kristen menyerang umat Islam yang sedang Salat Idul Fitri dengan membakar “masjid” dan kios-kios orang Islam. Banyak orang lalu menganggap bahwa umat Islam sebagai kelompok “minoritas” diserang oleh umat Kristen Papua yang “mayoritas”. Sebenarnya berbagai pendapat mengenai akar persoalan tersebut, seperti adanya ketegangan antara Muslim dan Kristen ditambah persoalan antara pendatang dan putra daerah; atau sebagai “settingan” atau rekayasa pihak luar Papua untuk kepentingan penguasaan sumberdaya.
Perhatian Masyarakat dan Negara
Kerusuhan Tolikara memicu reaksi sangat massif dan nasional bahkan internasional seperti diperlihatkan berbagai media. Banyak tokoh agama diminta memberi komentar melalui dialog interaktif terutama di radio dan televisi. Pemerintah pun sangat responsif. Di hari kejadian, Wakil Presiden, Jusuf Kalla, memberikan pernyataan bahwa penyerangan Islam itu karena suara speaker dari masjid terlalu keras. Sehari setelah kerusuhan, Kapolri Badrodin Haiti, mengunjungi tempat kerusuhan. Selanjutnya beberapa menteri mengunjungi Tolikara. Bantuan logistik langsung diberikan, biak material untuk kebutuhan warga Muslim yang mengungsi dan bantuan untuk membangun kembali kios-kios dan mushala.
Beberapa hari kemudian, Presiden Jokowi mengumpulkan Kapolri, Panglima TNI, beberapa menteri yang terkait dan Kepala BIN. Demikian juga kemudian Jokowi mengumpulkan dua puluhan tokoh atau pemimpin agama di Istana Negara dan memberikan pengarahan tentang pentingnya toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Menteri agama menyatakan dengan tegas bahwa melarang orang beribadah adalah inkonstitusional. Terhadap reaksi masyarakat dan pemerintah ini, banyak yang memberi komentar sinis dan dengan pertanyaan: Mengapa untuk kasus-kasus serupa seperti Syiah, Ahmadiyah, GKI Yasmin, HKBP Filadelfia dan banyak lagi lainnya, pemerintah tidak bereaksi massif seperti terhadap kasus Tolikara? Apakah karena kelompok-kelompok ini adalah “minoritas”?
Efek Negatif-Positif
Di kalangan Islam, banyak pihak memperlihatkan reaksi keras. Ada yang berbentuk unjuk rasa dengan mengusung poster-poster yang berisi kritikan terhadap perilaku umat Kristen di Papua, tetapi ada juga yang merupakan kritik terhadap ajaran agama Kristen, seperti “Ajarannya kasih tetapi bakar Masjid?” Dalam peristiwa lain, ada tindakan kekerasan yaitu berusaha membakar gedung gereja seperti yang dilakukan terhadap GKJ Teplok di Jawa Tengah. Front Pembela Islam (FPI) dikatakan telah menyiapkan tujuh puluh ribu anggotanya dan siap dikirim ke Papua untuk berperang jika diperlukan. Di sini konflik dengan kekerasan Tolikara berefek buruk pada kehidupan masyarakat dan negara khususnya relasi antarumat Islam dan Kristen.
Di pihak lain, kasus Tolikara membuat banyak orang menjadi kritis terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan agama. Kasus-kasus penghambatan, khususnya yang dialami oleh umat Kristen atau umat agama bukan Islam di daerah-daerah yang di dominasi oleh umat Islam mulai diungkit dan diberi perhatian serius. Kasus-kasus seperti GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi yang secara rutin melakukan ibadah di depan Istana karena tempat ibadahnya disegel oleh pemerintah setempat dengan harapan mendapat perhatian Presiden dan jajarannya, kini mendapat perhatian lebih dan lebih bersemangat untuk berjuang. Seribuan warga Syiah Islam di Sampang Madura yang harus mengungsi karena diusir dari kampungnya dan persoalan mereka belum terselesaikan, kini juga disorot. Demikian juga, kasus penganut Islam Ahmadiyah yang dihambat untuk melakukan kegiatan dan ibadah, bahkan masjidnya disegel atau ada yang ditutup dan dibongkar.
Kasus Tolikara membuat perhatian kementerian Dalam Negeri terhadap Peraturan Daerah atau Perda yang diskriminatif agama menjadi pokok berita media. Saat ini ada lebih 3000-an Perda yang ditinjau kembali dengan kemungkinan harus direvisi atau dapat dibatalkan Kementerian Dalam Negeri. Ini termasuk Perda yang bersifat diskriminatif agama, atau lebih memihak atau merupakan kepentingan satu agama tertentu, khususnya Perda yang bercorak Islam atau yang dikenal sebagai Perda “Syariah”. Jadi pemerintah makin serius menangani Perda-Perda yang mengandung persoalan dalam rangka kehidupan dan hubungan antarumat beragama. Ahok, Gubernur DKI Jakarta, bahkan sempat menyinggung Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 2006 dan No. 8 tahun 2006 bahwa isinya tidak benar, tetapi, lanjut Ahok, harus ditaati karena sudah menjadi peraturan negara. Ini menjadi indikasi bahwa Perber dua menteri itu, terutama syarat-syarat pendirian rumah ibadah perlu ditinjau kembali dan direvisi karena tidak sesuai dengan kondisi riil peta domisili umat beragama di Indonesia.
Kasus Tolikara memberi peluang lebih besar dan terbuka untuk kelompok-kelompok agama seperti GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, warga Syiah, Ahmadiyah dan Sunda Wiwitan, yang selama ini “ditindas” untuk mengungkit dan meminta penyelesaian yang adil dari masyarakat dan pemerintah. Ini menjadi moment yang tepat untuk memperjuangkan hak keagamaan dan konstitusionalnya di Indonesia dengan mendesak pemerintah mengkaji ulang peraturan-peraturan yang diskriminatif agama dan menyelesaikan kasus-kasus penghambatan dari satu umat terhadap umat lain dalam kegiatan keagamaannya. Namun usaha ini perlu dilakukan dengan bijaksana, mengedepankan hukum, budaya dan kearifan masyarakat kita dan menjunjung kerukunan dan perdamaian. Yang diperjuangkan juga adalah pemerintah bertindak tegas terhadap radikalisme dan kelompok ekstrem yang anarkis.
Kerusuhan di Tolikara, terlepas dari efek negatif dan bahkan positifnya, tentu merupakan peristiwa yang buruk bagi kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara. Citra umat dan agamanya, masyarakat Tolikara-Papua dan Indonesia telah tercoreng. Semoga konflik atau kerusuhan apalagi karena agama tidak lagi terjadi.
Stanley R. Rambitan/Teolog-Dosen Pascasarjana UKI
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...