Efektivitas Jaminan Kesehatan untuk Turunkan Angka Kematian Ibu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sebuah negara dikatakan berhasil dalam program pembangunan apabila tingkat kesejahteraan masyarakatnya tinggi. Tingkat kesejahteraan lazim diukur dengan melihat tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan kondisi masyarakatnya.
Indonesia menetapkan target MDGs Angka Kematian Ibu (AKI) sebagai salah satu indikator pembangunan sebesar 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup untuk tercapai pada 2015.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2012), AKI di Indonesia masih berada pada angka 359 kematian per 100.000 kelahiran hidup.
Salah satu upaya Pemerintah Indonesia untuk menekan tingginya AKI adalah dengan memberikan jaminan pelayanan kesehatan kepada seluruh perempuan hamil, melahirkan, dan dalam masa nifas melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
JKN diberikan melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan sejak 1 Januari 2014 program JKN secara resmi dilaksanakan.
Dalam rangka mengetahui dampak program JKN tersebut bagi masyarakat dan tenaga kesehatan, Women Research Institute (WRI) pada 2014, melakukan penelitian yang menyoroti efektivitas pelaksanaan JKN berdasarkan pengalaman bidan dan perempuan dalam mengakses pelayanan kebidanan di Jakarta Timur dan kota Bandung yang memiliki AKI tinggi.
Dalam penelitian WRI yang dilaksanakan pada akhir 2014, ditemukan masih banyak perempuan peserta JKN yang mengalami berbagai persoalan.
-Akses Informasi JKN: masih minim informasi mengenai sistem rujukan, jenis penyakit kegawatdaruratan, serta konsekuensi biaya yang harus ditanggung pasien. Informasi yang komprehensif diharapkan difasilitasi oleh BPJS Kesehatan dengan menghadirkan pusat informasi JKN di lokasi yang mudah diakses masyarakat.
-Akses Kepesertaan JKN: ketidakjelasan prosedur kepesertaan perempuan berasal dari keluarga miskin, yang tidak memiliki akses informasi memadai, membuatnya berisiko dan tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal.
-Pemanfaatan Pelayanan JKN bagi Pelayanan Kebidanan: pentingnya kejelasan cakupan manfaat pelayanan kebidanan, seperti layanan kontrasepsi, termasuk pembelian alat atau obat kontrasepsinya. BPJS Kesehatan diharapkan dapat memastikan ketersediaan dan pendistribusian alat kontrasepsi gratis.
-Fasilitas Kesehatan yang Tidak Memadai: ketidaksiapan fasilitas kesehatan menghadapi penumpukan jumlah peserta JKN, menimbulkan antrean untuk pemeriksaan kehamilan dan juga pelayanan persalinan tidak terhindarkan. Peningkatan jumlah pasien tidak diikuti dengan penambahan fasilitas ruangan, alat operasi dan alat lainnya, sehingga banyak pasien harus menunggu giliran untuk mendapat bantuan operasi persalinan yang berakibat meningkatnya risiko persalinan.
-Tenaga Kesehatan (Bidan): memprioritaskan penambahan jumlah bidan agar perempuan yang mengakses pelayanan kebidanan dapat tertangani, agar bidan bisa secara otomatis atau mudah menjadi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, dalam memberikan bantuan pemeriksaan dan persalinan pada perempuan hamil.
-Sistem Rujukan Jaminan Kesehatan menghadapi sistem rujukan yang birokratis dengan informasi yang sangat minim, membuat banyak perempuan yang akhirnya terpaksa mendatangi pelayanan kesehatan seperti bidan yang tidak bekerja sama dengan BPJS, yang mengakibatkan mereka harus mengeluarkan biaya-biaya yang seharusnya ditanggung JKN. Bidan praktik mandiri tidak secara otomatis bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
-Sistem Pembayaran JKN: perlu informasi jelas mengenai biaya-biaya yang tidak dijamin dalam program JKN, sebagai hak peserta JKN untuk menghindari adanya kecurangan.
Dari beberapa temuan tersebut, pengawasan pelaksanaan program JKN masih dibutuhkan untuk dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanannya.
Berdasarkan temuan penelitian WRI, didapatkan beberapa rekomendasi perubahan peraturan perundang-undangan antara lain:
-Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional Pasal 8 ayat (3) butir c, dengan menambahkan ketentuan mengenai peran aktif BPJS Kesehatan dalam memfasilitasi kerja sama bidan praktik mandiri dengan jejaring Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.
-Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional Pasal 9 sampai dengan Pasal 12, dengan menambahkan secara terperinci mengenai kelengkapan alat dan fasilitas lainnya di tiap fasilitas kesehatan sebagai salah satu syarat untuk dapat bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
-Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, agar dapat lebih eksplisit menyatakan syarat pendaftaran dan pemilihan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, tidak harus sesuai dengan wilayah domisili yang tertera di identitas kependudukan (Kartu Tanda Penduduk atau Kartu Keluarga).
-Menambahkan penjelasan yang lebih elaboratif terkait situasi khusus pasien yang diperbolehkan tidak mengikuti prosedur rujukan berjenjang, yaitu penjelasan terperinci terkait: kondisi kedaruratan media (Pasal 14 ayat 3 dan Pasal 15 ayat 4), pertimbangan geografis (Pasal 15 ayat 4) dan kekhususan permasalahan kesehatan pasien (Pasal 15 ayat 4) pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional. (PR/wri.or.id)
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...