Ekonom: Pelemahan Global Berisiko Ciptakan Ketidakpastian Ekonomi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pengamat Ekonomi dari Universitas Paramadina, Firmanzah, mengatakan bahwa pelemahan ekonomi global saat ini berisiko menciptakan ketidakpastian ekonomi. Baik dari segi dunia usaha maupun dari ekonomi nasional.
“Risiko masalah tingkat global yang kita hadapi adalah risiko ketidakpastian. Kenapa itu muncul? Karena ada dua sektor yang berbeda yaitu sektor AS yang indikasi perekonomiannya membaik sementara sektor lainnya ekonomi Tiongkok yang menunjukkan perlambatan. Jadi dua sektor yang berbeda arah,” kata Firmanzah dalam acara Bloomberg BusinessWeek di Hotel Dharmawangsa Jakarta Selatan hari Kamis (27/8).
Menurutnya, dengan membaiknya perekonomian AS mengindikasikan adanya akhir dari unconventional monetary policy yaitu kebijakan suku bunga rendah dan stimulus ekonomi oleh The Fed AS. Dengan berakhirnya kebijakan ini, diperkirakan AS akan menaikkan suku bunganya. Beberapa analis, kata dia, memperkirakan kemungkinan kenaikan suku bungan ini dilakukan pada bulan September oleh The Fed.
Namun, dia menilai itu terlalu cepat. Tapi, jika menunggu hingga bulan Desember juga tidak tepat karena dikhawatirkan investor akan menarik investasinya sebagai akibat dari krisis likuiditas dunia. Melihat kondisi tersebut, dia menilai kenaikan suku bunga akan lebih tepat dilakukan pada bulan Oktober.
Lebih lanjut dia mengungkapkan pada tahun 2013 Indonesia bersama dengan negara berkembang lainnya meminta Presiden AS Barack Obama menyampaikan kepada The Fed agar saat ingin melakukan penyesuaian suku bunga, The Fed harus melakukan koordinasi dan komunikasi yang baik ke negara-negara lain.
“Pada saat itu Obama bilang oke karena kita merasakan bahwa kalau gonjang-ganjing ini terus terjadi maka yang rugi bukan hanya negara berkembang tapi AS juga akan merasakan dampaknya,” kata dia.
Namun, yang terjadi adalah dengan tiba-tiba Tiongkok mendevaluasi mata uangnya tanpa berkoordinasi dan berkomunikasi dengan baik kepada anggota G20 lainnya. Menurutnya, inilah yang menjadi pemicu kemungkinan AS tidak akan berkoordinasi saat melakukan penyesuaian suku bunga di masa depan.
“Jadi saya melihat ke depan, ketidakpastian masih akan terbuka dan cukup tinggi. Karena memang forum G20 ini sebenarnya untuk memperbaiki komunikasi dan koordinasi antara 20 negara besar dunia. Dan pada saat itu sebelum Summit di Saint Pettersburgh kita mencoba untuk komunikasi untuk meyakinkan AS hati-hati kalau melakukan penyesuaian suku bunga,” kata dia.
Kemudian, dampak tersebut juga harus dilihat tidak hanya dari indikator ekonomi makro di AS, inflasi, tenaga kerja, indeks manufaktur tetapi juga lihat apa yang terjadi di Brasil, Afrika Selatan dan Indonesia.
“Ini juga berdampak punya feedback ke ekonomi AS. Tapi dengan adanya devaluasi mata uang yuan tentunya AS sudah tidak memiliki basis moral untuk komunikasi ke negara lainnya untuk melakukan penyesuaian suku bunga. Ini yang berbahaya. Jadi kita masih belum tahu kira-kira bagaimana respons bank sentral AS. Dan mereka yang dipastikan tidak memiliki basis moral untuk berkoordinasi. Mereka bilang kenapa harus kita yang melakukan? Tiongkok, Beijing juga tidak melakukan. Jadi ini distrust di antara negara-negara G20.”
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...