Ekonom Tepis Spekulasi Ekonomi RI dalam Krisis
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Nilai tukar Rupiah hari ini yang menyentuh level terendah sejak tahun 1998, telah menarik perhatian para pelaku pasar di dalam dan luar negeri. Sejumlah media asing menyoroti hal ini dan mempertanyakan kemungkinan tanda-tanda krisis seperti pada tahun 1997-1998. Namun, umumnya diyakini kemerosotan nilai tukar bukan pertanda perekonomian RI sedang memasuki krisis.
“Ini tidak seperti pada tahun 1997,” kata Nizam Idris, kepala strategi, fixed income dan mata uang Macquaire, seperti dikutip oleh kantor berita Bloomberg hari ini (14/12).
Menurut dia, krisis ekonomi tahun 1997-1998 dipicu oleh utang dalam mata uang asing di kawasan Asia Tenggara, yang menjadi demikian mahal ketika nilai tukar mata uang lokal kolaps. Ini menyebabkan melesatnya kewajiban membayar bunga.
Saat ini, menurut dia, utang luar negeri Indonesia relatif rendah. Utang korporasi Indonesia saat ini berada di sekitar 27 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal kedua tahun 2014, lebih rendah bila dibandingkan dengan 33 persen pada kuartal kedua tahun 1997, menurut data Bank of America Merril Lynch.
Nilai tukar rupiah hari ini melemah hingga sempat menyentuh level Rp 12.695 per dolar AS, level terendah sejak krisis ekonomi tahun 1997-1998. Obligasi pemerintah untuk jangka waktu 10 tahun berada di 8,20 persen, naik dari 7,70 persen pada awal bulan.
Menurut Reuters, BI melakukan intervensi pasar untuk meredam gejolak nilai tukar dan menyetabilkan harga obligasi.
Analis dari RBS, Greg Gibbs, berpendapat penurunan harga minyak dunia menjadi penyebab melemahnya rupiah. “Jatuhnya harga minyak telah menyebabkan kekhawatiran terhadap penerimaan pemerintah,” kata dia kepada Bloomberg.
Ia menambahkan, banyak mata uang tertekan ke tingkat terendah dewasa ini, khususnya mata uang negara-negara eksportir energi, seperti dolar Australia dan Kanada, Rubel Rusia dan Ringgit Malaysia.
"Harga minyak yang rendah mempengaruhi seluruh harga komoditas. Indonesia masih merupakan eksportir komoditas yang besar,” tambah Nizam Idris.
Nizam tidak memungkiri gejolak Rupiah masih akan terjadi.
“Pemegang obligasi mulai merasakan penderitaan saat ini,” kata Idris. Menurut dia, rupiah dengan mudah bisa menyentuh level 13.000 dipicu oleh investor asing yang melepas obligasi demi mengamankan investasi.
Sekitar US$ 12,5 miliar dana asing telah masuk ke pasar obligasi Indonesia tahun ini, yang menyebabkan kepemilikan asing atas obligasi pemerintah mencapai 39 persen, naik dibandingkan 33 persen pada akhir 2013 berdasarkan data CIMB.
Partisipasi asing di pasar obligasi Indonesia memang tinggi, namun, menurut Idris, imbal hasil dari kupon obligasi tersebut sudah tergerus oleh melemahnya nilai tukar.
Morgan Stanley juga memperkirakan aliran modal keluar masih akan berlanjut dari pasar obligasi Indonesia mengingat sensitifnya aset tersebut terhadap melemahnya nilai tukar rupiah.
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...