Eksekusi Hukuman Mati dalam Perspektif Kekristenan
“Bila Alkitab berbicara keadilan, maka yang dimaksud keadilan bukan sekadar keadilan retributif atau keadilan distributif, melainkan keadilan kreatif. Itulah keadilan yang menciptakan ruang, kesempatan, dan peluang bagi perubahan.
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Eksekusi hukuman mati yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia bulan lalu terhadap terpidana narkoba terus menuai kontroversi. Masyarakat seolah terbagi dalam ruang-ruang pemikiran yang tak sama. Dalam pandangan Kristen pun juga terdapat perbedaan pemikiran terhadap pelaksanaan hukuman mati.
Ketua Majelis PGI Andreas A Yewangoe memberi gambaran menurut sebuah tulisan yang berasal dari Barret Duke dan Joe Carter dalam bukunya berjudul Capital Punishment: An Overview of Christian Perspetives, persoalan eksekusi hukuman mati masih menjadi pergumulan yang cukup panjang dalam tubuh gereja.
“Tampaknya hukuman mati ditolak di kalangan aliran gereja arus utama, yakni Presbyterian Church in USA, gereja-gereja Episkopal, dan gereja-gereja Lutheran, termasuk The United Church of Christ dan banyak gereja Metodis dan gereja Baptis,” kata Yewangoe di kantor PGI, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Jumat (13/2).
Sementara itu, gereja Katolik Roma disebut tetap mendukung hukuman mati, namun penerapannya tidak dibutuhkan lagi karena masyarakat telah dianggap dewasa dalam peradaban.
Jika dilihat dari sumber Alkitab, persoalan hukuman mati tak cukup mudah ditafsirkan karena penafsiran ini sesuai dengan perspektif masing-masing. Dalam Alkitab, hukuman mati memang tidak ditabukan, namun harus dilakukan negara dengan cara yang adil. Bila negara memberlakukan eksekusi hukuman mati, harus ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan kuat. Pertama, tertuduh harus diyakini melakukan kejahatan dan layak dihukum mati. Kedua, harus ada saksi-saksi yang dipercaya. Saksi pun tidak boleh hanya satu orang karena dianggap tidak cukup mewakili. Ketiga, tertusuh harus diperlakukan sama dan seragam tanpa emmandang status dan latar belakang mereka.
Meskipun hukuman mati adalah hukuman yang dianggap sah, namun dalam negara seharusnya sangat berhati-hati dan bersungguh-sungguh menerapkannya dengan komitmen yang kuat dan pengawasan yang ketat. Negara pun harus meyakini diterapkannya hukuman mati telah memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan hukum.
“Kesalahan dalam mengeksekusi hukuman mati dapat menjadi kutukan, baik yang berasal dari Allah maupun dari masyarakat,” kata Yewangoe.
Keadilan ini menurut Yewangoe harus menjadi dasar kuat negara dalam mengambil tindakan karena keadilan bukan benda yang tergantung di awang-awang, melainkan sumber dari kasih Allah.
“Bila Alkitab berbicara keadilan, maka yang dimaksud keadilan bukan sekadar keadilan retributif atau keadilan distributif, melainkan keadilan kreatif. Itulah keadilan yang menciptakan ruang, kesempatan, dan peluang bagi perubahan," kata Yewangoe.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...